the balebengong
Tempat Denpasar Berbagi Kabar
 
Monday, September 10, 2007
Pindah ke www.balebengong.net
Mohon maaf. Saya lupa terus untuk mengabarkan bahwa blog ini sudah pindah ke http://www.balebengong.net
Kabar di sana lebih lengkap dengan desain dan klasifikasi lebih menarik. Silakan mampir ke sana..
Anton Muhajir
Penunggu Bale Bengong

posted by The Balebengong 9:37 AM   1 comments
 
1 Comments:
  • At March 19, 2008 at 8:48 AM, Anonymous Anonymous said…

    Hello. This post is likeable, and your blog is very interesting, congratulations :-). I will add in my blogroll =). If possible gives a last there on my blog, it is about the Monitor de LCD, I hope you enjoy. The address is http://monitor-de-lcd.blogspot.com. A hug.

     
Post a Comment
<< HOME

Tuesday, July 3, 2007
Melihat Bali di Bajra Sandhi

Oleh Yusuf Rey Noldy

Sejarah Bali terekam di Monumen Bajra Sandhi. Dari Pithecantropus Erectus hingga pembangunan kampus.


Meski lahir dan besar di Denpasar Kadek Adi Mantara, 27 tahun, belum pernah sama sekali melihat isi dalam monumen Bajra Sandhi di Renon, Denpasar. “Bagus ya di dalamnya?” tanya warga Ubung, Denpasar ini.

Mantara jelas rugi. Sebab, seperti nama panjangnya, Monumen Perjuangan Rakyat Bali Bajra Sandhi memuat sejarah panjang Bali sejak zaman 3000 sebelum masehi hingga 1975. Sejarah itu ditampilkan melalui visualisasi tiga dimensi yang sangat mirip dengan kondisi aslinya, paling tidak dari bentuk manusianya. Karena itu jalan-jalan ke Bajra Sandhi seolah melihat perjalanan waktu Bali selama ini.

Monumen Bajra Sandhi berada di bagian selatan Lapangan Renon, yang juga lapangan terluas di Denpasar. Pintu masuk monumen ini dari Jl Niti Mandala Renon. Renon merupakan kawasan pemerintahan (civic centre). Ada kantor gubernur dan kantor DPRD Bali di di sisi utara lapangan. Puluhan kantor pemerintah lain juga ada di sekitar lapangan ini.

Maka sangat gampang mencapai Renon. Naik motor jelas gampang. Naik taksi pasti tidak susah mencari. Naik angkutan umum, nah ini dia, yang agak susah. Bemo, sebutan warga Denpasar untuk angkutan umum, yang melewati jalan ini hanya bemo jurusan Sanur – Teuku Umar. Itu pun hanya searah karena jalan ini memang searah. Kalau dari Sanur, kita akan lewat persis di depannya. Kalau dari Jl Teuku Umar, kita akan berjalan sekitar 200 meter dari Jl Cok Agung Tresna di belakang kantor gubernur.

Kalau tidak salah ada juga bemo jurusan Ubung – Jl Teuku Umar. Bemo berwarna kuning ini kadang-kadang lewat Renon juga. Tapi ini tidak bisa dipastikan. Karena itu, jalan ke Renon paling gampang ya naik motor atau kendaraan pribadi lain. Ketika sudah sampai di daerah Renon, cari saja bangunan menjulag tinggi berwarna hitam yang bagian ujungnya mirip ujung genta.

Dari luar, bangunan Bajra Sandhi memang dibuat mirip genta yang biasa dipakai ketika upacara di Bali. Tentu saja bukan upacara bendera tapi upacara adat atau sembahyang. Genta ini biasa dipakai pedanda atau pemangku yang memimpin sembahyang. Bunyinya klinting-klinting-klinting.. Saya pernah mendengar bahwa bentuk seperti genta ini bermakna bahwa Bajra Sandhi berguna untuk mengingatkan kita akan sesuatu.

Sebenarnya ada beberapa pintu masuk ke dalam bangunan Bajra Sandhi. Namun demi keteraturan, mungkin, hanya ada satu pintu yang selalu dibuka yaitu di bagian selatan. Di sini juga ada penjaga dan pos membeli tiket. Untuk masuk hanya perlu bayar Rp 3000 untuk orang dewasa dan Rp 2000 untuk anak-anak.

Dengan harga segitu, kita bisa menikmati sejarah panjang Bali, dan indahnya Denpasar dari atas. Ini pengalaman asik.

Sejarah Bali itu ada di bagian diorama. Mengikuti bentuk luar monumen, diorama ini berbentuk melingkar. Ada 33 gambaran dalam bentuk tiga dimensi tentang sejarah Bali di dalam kaca besar. Ada patung-patung kecil di sana dengan keterangan tiga bahasa di luar, bahasa Bali dalam aksara Jawa Kuno, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris.

Gambaran pertama adalah sejarah Bali pada masa berburu dan mengumpulkan makanan. Terlihat manusia purba (Pithecanthropus Erecthus) sedang berburu babi menggunakan kapak genggam. Setelah itu berturut-turut ke kanan adalah gambaran Bali mendekati waktu saat ini: masa kerajaan, penjajahan Belanda, revolusi fisik, dan seterusnya. Gambaran terakhir adalah pembangunan kampus Universitas Udayana Bali di Jimbaran pada 1975. Inilah tahun terakhir sejarah Bali yang digambarkan.

Bentuk-bentuk patung kecil itu sangat hidup. Demikian pula suasana di belakangnya. Laut yang biru, gunung yang hijau, darah yang merah, mendung yang kelabu, semuanya begitu mirip aslinya.

Selesai dari diorama kita menuju puncak monumen yang tingginya 45 meter. Puncak ini adalah bagian dari ujung bangunan mirip genta tersebut. Jadi kalau bangunan ini adalah genta beneran, bagian puncak ini yang dipegang.

Untuk sampai atas, kita melewati tangga berundak memutar beralas karpet merah. Karena diameternya kecil, mungkin tak sampai empat meter, maka tangga memutar ini terasa sempit. Inilah bagian tidak enak di monumen Bajra Sandhi. Memutar sempit dengan tangan berpegang sisi luar tangga itu membuat kepala cepat pusing. Apalagi pegangan besi tingginya sekitar dada. Ada perasaan sedikit takut.

Tapi pusing dan takut itu segera hilang ketika sampai di atas. Jendela-jendela besar di sisi memutar puncak monumen membuat kita bisa melihat Denpasar sepuasnya meski tidak seluruh bagian Denpasar. Waaah, cakep sekali. 28 tahun lahir dan besar di Denpasar baru kali ini saya bisa melihat Denpasar dari atas sepuasnya.

Di sisi timur, birunya Sanur terlihat jelas. Di sisi selatan ribuan rumah terlihat atapya. Dengan langit biru dan sedikit mendung, melihat Denpasar sore itu ternyata asik sekali. Sayangnya di bagian barat dan utara agak terhalang rimbun pohon di Renon.

Kalau melihat matahari tenggelam atau matahari terbit dari puncak ini pasti jauh lebih asik lagi.

Puas menikmati Denpasar, saya perlahan turun melewati tangga yang sama. Aduh, sama tidak enaknya. Karena takut ketinggian, ketika turun dan melihat lantai bawah monumen, saya tidak hanya takut taoi ngeri. Kok tidak enaknya di bagian akhir ya. [+++]


Yusuf Rey Noldy, warga Denpasar tinggal di daerah Pedungan, Denpasar.
posted by The Balebengong 3:54 PM   3 comments
 
3 Comments:
  • At July 4, 2007 at 11:50 AM, Blogger Ayip said…

    Barangkali memang perlu tugas lain mengkomunikasikan monumen ini sebagai museum yang juga sarana pendidikan kepada masyarakat luas terutama yang berada di Bali. Kita tidak terlepas dari gambaran pembangunannya yang lama, statement mengenai fungsinya juga apa saja yang ada di dalamnya. Soalnya saya termasuk ketinggalan jaman untuk tertarik melihat kedalam. Apa gitu ya yang membuatnya menjadi penasaran... Ya tulisan di blog ini mungkin...

     
  • At July 8, 2007 at 1:24 PM, Blogger sinyoe aliando said…

    nice artikel.saya juga yakin kagak semua orang juga tau klo tu monomen bisa dimasuki dan ada beberapa sejaraj bali seperti yang diceritakan.itu juga termasuk saya,hehehe...5,5 tahun tinggal di bali rugi rasanya blum tau hal itu, maybe next holiday saya sempatin deh ksitu, thanks.....

     
  • At April 26, 2008 at 8:30 AM, Blogger Unknown said…

    Wah wah wah ...
    Sama nih ....
    Kalo aq udah kira kira 13 tahun di BALI (mulai dari sd di swastiastu sampai SMA di sma 4) juga belum pernah ke sana ..
    kapan kapan main deh

    By : Sieputra

     
Post a Comment
<< HOME

Monday, July 2, 2007
Memerdekakan Perut di Renon

Oleh Luh De Suriyani

Renon tampil sebagai wajah urban warga Kota Denpasar. Memerdekakan jiwa dan juga perut.


Gaya hidup warga Denpasar barangkali bisa dilihat di Renon, kawasan civic center atau pusat pemerintahan di jantung Kota Denpasar. Dari pagi sampai menjelang petang, kawasan Monumen Bajra Sandhi Renon dipadati beragam aktivitas warga. Dari sekadar aktivitas olahraga, arena bermain anak, sampai etalase bagi penghobi atau komunitas.

Disebut etalase karena para penghobi biasanya setiap akhir pekan berkumpul di sekitar kawasan ini. Mulai dari club motor, mobil, sepeda, sampai komunitas bartender dan kelompok spiritual. Sejumlah ruas jalan di kawasan ini bisa jadi etalase hidup karena dipenuhi kegiatan penghobi dan komunitas itu. Aktivitas ini memungkinkan karena ruas jalan cukup lebar dan tak terlalu ramai.

Bagi yang tak suka berkelompok, kawasan ini juga ramah bagi aktivitas individu seperti olahraga, bermain layangan, atau sekadar cuci mata. Area monumen dibagi menjadi beberapa ruang terbuka seperti lapangan rumput untuk bermain bola, trek joging, lapangan-lapangan kecil untuk tempat bermain anak, dan ruang terbuka lainnya. Anehnya, walau kawasan ini tampak padat, tapi sellau masih ada ruang yang cukup luas untuk beraktivitas. Tak terasa sumpek. Mungkin karena pembagian area yang baik dan suasana rindang penuh pohon.

Keragaman aktivitas dan cara memuaskan diri membuat kita tak terasing. Tak ada yang merasa minoritas karena semua merasa merdeka dengan gayanya sendiri.

Setelah jiwa, pasti berlanjut ke perut. Khasanah kuliner nusantara di kawasan ini melengkapi kemerdekaan itu sendiri. Di sepanjang jalan kawasan Renon, kita dimanjakan beragam makanan khas daerah tersedia. Misalnya Restoran Cianjur yang menyediakan masakan khas Jawa Barat, Warung Be Tutu Gilimanuk khas Bali, Warung Blitar, dan Warung Lombok.

Kebanyakan warung memasang identitas daerahnya sebagai nama warung, jadi tak sulit menentukkan pilihan bagi pendatang yang baru melintas Renon. Selain identitas kedaerahan, sebagian lagi memilih nama warung sesuai dengan menu makanan yang dijual. Misalnya satu porsi ayam bakar dijual Rp 15.000 – Rp 20.000.

Makanan dengan harga di bawah Rp 10.000 rupiah per porsi juga tak sedikit. Ada soto sapi, bakso, nasi campur, sate, dan lainnya. Yang menarik, akulturasi juga nampak di bisnis makanan di daerah ini. Tak hanya itu, sepuluh ribu perak juga cukup untuk ditambah makanan penutup seperti jagung bakar atau es kelapa muda. Hmm, gimana nggak merdeka, nih perut?

Uniknya, akulturasi juga nampak pada bisnis makanan di daerah ini. Ada siomay khas Bandung yang dijual oleh kebanyakan etnis Lombok. Saking larisnya siomay ini, warga Lombok yang berjualan terus bertambah. Sampai ada perkampungan warga Lombok yang terus berkembang di daerah ini.

Satu lagi keistimewaan tempat makan di kawasan ini adalah memberikan ruang bagi lokasi mengisi perut yang nyaman sambil ngobrol santai. Misalnya warung dengan gaya bale bengong atau makan di taman terbuka. Jadi tak sekadar mengisi perut juga kongkow-kongkow sepuasnya.

Satu hal yang menjadi persoalan klasik adalah pedagang yang sering melanggar peraturan berdagang di area taman monumen. Barangkali tak hanya di Bali, di semua tempat umum yang ramai di Indonesia sulit menertibkan pedagang. Pemandangan kejar-kejaran aparat Tramtib dan pedagang masih beberapa kali terlihat.

Pedagang nekat karena permintaan makanan dan minuman pengunjung memang tinggi. Ni Nyoman, misalnya. Perempuan muda pedagang asongan ini nekat setiap hari berjualan mulai jam 4 sore di dalam kawasan Bajra Sandhi. Ia menjajakan beragam buah segar. Jika ada razia, ia mengaku tak risau karena dagangannya mudah dipindah untuk menghindari digaruk petugas.

Pedagang acung memang sulit diatur karena mereka mobile, dengan menjunjung dagangannya atau pake sepeda masuk ke tengah taman. Tantangannya, mereka harus diminta bertanggung jawab menjaga kebersihan dengan membawa kantong sampah sendiri untuk menampung sampah pembelinya. Ini terbukti efektif di Pantai Kuta. Pedagang di pantai itu punya aturan soal tanggung jawab menjaga kebersihan.

Bajra Sandhi
Monumen Bajra Sandhi, dikenal dengan monumen perjuangan rakyat Bali. Dalam monumen ini ada sejumlah jejak sejarah yang memperlihatkan perjalanan perjuangan rakyat Bali melawan pemerintah kolonial Belanda. Seperti diorama peristiwa perang, dan sejumlah dokumen.

Namun, museum mini ini lebih banyak dikunjungi para peneliti atau siswa. Barangkali karena terkesan serius. Kalah oleh kehebohan para penghobi, komunitas, dan pengunjung di areal taman dan sekitarnya yang dipadati aktivitas olahraga, rekreasi, atau sekadar cuci mata. Inilah kemerdekaaan jaman sekarang, bukan? [+++]

-tulisan ini dimuat di Media Halo edisi Juni 2007-
posted by The Balebengong 3:52 PM   1 comments
 
1 Comments:
  • At April 9, 2009 at 9:03 PM, Blogger oom-bali said…

    ((( Cara Sederhana meMIKAT Pelanggan & Tamu Anda )))

    Unik..
    Langka..
    efek Fantastik..
    yang tidak dimiliki oleh Piring Biasa

    http://piring-energi.blogspot.com

     
Post a Comment
<< HOME

Sunday, July 1, 2007
BEDO BALI DESIGN WORKSHOP
-kiriman dari Ayip Matamera. Mungkin terlalu resmi. Tapi tidak apa-apa utk sebuah kabar-

To promote Bali’s exports highlighting innovation, design and quality, combining traditional craftsmanship with a modern touch and international quality standard, the Bali Export Development Organization (BEDO) In collaboration with many long term Bali resident expatriate advisors, organizations and local designers & exporters is organizing a Bali Design Workshop to provide first hand information on innovation, creativity and market trends, with international acclaimed speakers.

The design workshop targets 150 participants on day one and will than be broken out in sector groups on day 2 and 3.
General Topics Workshop 1 (One) Day:
Date: 10 July 2007
Time: 9.00am - 6.00pm
Venue: Sahid Raya Kuta Hotel
You will learn:
- Environmental Friendly Design
- Why do we need design?
- How to get a new idea?
- Make it Right (Color, composition, scale, etc)
- Macro Trend in Design
- Success with design
General Topics Workshop 4 (Four) Days:
Date: 11, 12, 13 and 20 July 2007
Time: 9.00am - 6.00pm
Venue: Bali Garden Hotel, Jalan Kartika Plaza , Kuta
You will learn:
- Design Trend
- Boutique vs Mass Product
- Buyer Expectation in Design
- Material & Details
- How to use trend book
- How to make great packaging
- How to make great window display
- Design presentation
- Philosophy of design
- Design studio visit

Who should attend:
The workshop is targeted at Business Owner, Designer, Buying Agent, Design student in any kind of business sector such as jewelry, fashion, fashion accessories, handy craft, artwork & product design, furniture, etc

As there are limited seats for this workshop, please make your bookings early. For more information you can contact BEDO Chairman Jeff Kristianto at jeff@be-do.org, BEDO office 0361 790 9697 or visit http://www.be-do.org/

Thank you, and see you soon!
BALI DESIGN WORKSHOP AGENDA

10th July @ Sahid Raya Hotel
General Topics
Moderator: Yuri
08:30-09:00 Registration
09:00-09:30 Press conference & announcements
09:30-11:00 Carolina & Ade – Design 101
11:00-11:30 coffee break
11:30-12:30 Warwick – Why we need Design
12:30-13:30 Ayip & Bridgit – How to get an idea
13:30-14:00 Announcements & Promotions
14:00-15:00 Buffet lunch
15:00-16:00 Eko & Veny - Practical
16:00-17:00 IFC Pensa – Macro trends in Design
17:00-18:00 PT TimberCraft Ecolestari - FSC
18:00-18:15 BEDO Program

11th July @ Bali Garden Hotel
Fashion / Jewelry
09:00-10:00 Magg & Suarti – Design Trend
10:00-11:00 Caroline – Buyer Expectations
11:00-11:30 Coffee break
11:30-12:30 Surfer Girl & Okane – Mass Product vs Boutique
12:30-13:30 Sarah & Dhalia – Material & Details

12th July @ Bali Garden Hotel
Furniture / Home Décor
09:00-10:00 Warisan Lighting & Warisan Furniture - Creativity
10:00-11:00 Sinta & Aldi – Buyer Expectations
11:00-11:30 Coffee break
11:30-12:30 IFC Pensa – How to use a trend book
12:30-13:30 Propan – Material & Finnishing

13th of July @ Design Workshops
10am onwards to be confirmed in the specific group meeting
Fashion - Surfer Girl
Jewelry - Suarti Silver
Furniture - Warisan
Home Décor - Jenggala

20th July @ Bali Garden Hotel
Philosophy of Design, Conclusions and Design discussion
09:30-10:00 Morning Coffee
10:00-12:00 Shunyata – Philosophy of Design
12:00-13:00 Break
13:00-14:00 Budiman – Successful Window Display
14:00-15:00 Event Promotion by Femme
15:00-16:00 ADGI & Essential - Packaging

New Design Presentation & Discussion (all participants should prepare a new design in sketch, model, or real product) – participated by all speakers and participants.
BEDO FUTURE EVENT

BALI DESIGN AWARD
Following the design workshop will be the Bali Design Awards with the theme “Green Design”, environmental friendly, recycled, sustainable product design. The registration will be open to public from the 15th of July with a deadline for final concept drawing and product mock up by the 15th of October 2007. An international jury will than announce the winners and runners up of both categories Home Décor/Furniture and Fashion/Jewelry during the “Made in Bali Expo”.

MADE IN BALI EXPO
“Made in Bali Expo” aims to be an annual B2B trade show in Bali, attracting international buyers and it will be therefore held in conjunction with the Indonesia Resource Expo in Jakarta , where BEDO will promote the Bali event with a stall. Expecting participation from 200 producers from Bali from the fashion, jewelry, home décor and furniture sector the first buyers already registered. “Made in Bali Expo” held 24 – 28th of October 2007 at Mal Bali Galeria.
posted by The Balebengong 3:49 PM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Friday, June 29, 2007
Suci (Plaza)



Oleh Darma Putra

Pertokoan Suci Plaza yang terletak di sudut perempatan Jl Diponegoro-Hasanudin-Sumatra dulunya adalah pasar senggol, pompa bensin, dan terminal. Anehnya, selang satu setengah dekade, ciri senggol itu kembali muncul walau dalam ukuran kecil.

Sebelum berubah wajah menjadi jejeran toko emas dan parkir bawah tanah sejak akhir 1980-an, tempat ini sejak lama menjadi pusat kehidupan malam kota Denpasar. Di Suci-lah istilah nasi jinggo muncul.

Pada siang hari, Suci merupakan terminal untuk angkutan dalam kota dan antar-kota. Untuk angkutan antar-kota, Suci menghubungkan Suci-Sanglah; Sanglah-Suci-Gajah Mada; dan akhirnya juga Suci-Ubung. Tahun 1970-an dan 1980-an, angkutan kota dilayani bemo roda tiga. Sebelum terminal Ubung beroperasi, Suci merupakan salah satu tempat mangkal mini bus yang melayani angkutan ke arah Barat, seperti Tabanan dan Negara.

Terminal Suci yang arenanya relatif sempit juga dilengkapi dengan pompa bensin. Pompa bensin Suci merupakan salah satu pompa yang stragegis letaknya bagi kendaraan angkutan umum dan pribadi. Selain kesibukan lalu-lintas, Suci juga memancarkan kesibukan pasar kecil. Di arena yang sempit numplek pedagang kecil yang menjual sayur, buah, janur, kopi, dan pindang.

Malam hari, senggol Suci merupakan salah satu pasar malam yang ramai. Inilah senggol yang komplit untuk mencari hidangan malam. Ada dagang sate kambing, nasi campur, cap-cay puyung hai, soto ayam, dan kacang ijo. Di sana juga dagang pisang goreng dan martabak. Tak gampang mencari martabak dulu, tapi Suci sudah menyediakan. Yang tak ketinggalan adalah pedagang jamu. Makin malam makin lakulah jamu diuntungkan oleh untaian promosi: kalau begadang minumlah jamu; kalau minum jamu begadanglah!

Keistimewaan Suci yang patut dicatat karena senggol ini merupakan cikal-bakal nasi jinggo. Pedagang nasi bungkus ini nongkrong di sisi utara senggol, pinggir jalan. Di sisi tenggara juga ada, tetapi tak seenak yang jinggo ini. Harganya murah, rasanya sedap, dan kian lezat karena pedagang menyediakan sambel lalah-manis yang pas dengan nasi dan menu ayam atau sapi.

Kalau sekarang nasi jinggo menjadi salah satu identitas kota Denpasar, adanya di mana-mana, dijaga tamu-tamu (wanita muda), dijual malam hari, maka cikal-bakalnya adalah senggol Suci. Cirinya memang sama: nasi bungkus daun pisang, harga merakyat, makan sebungkus pasti tidak cukup. Berkeranjang-keranjang bungkus nasi laku dijual saban malam. Nasinya cepat habis jauh sebelum senggol tutup.

Pasti banyak yang setuju bahwa jinggo Suci jauh lebih enak daripada jinggo sekarang ini. Pengunjung malam bisa makan di sana, banyak juga yang membeli nasi jinggo berbungkus-bungkus untuk dimakan di tempat lain. Pedagang biasanya memberikan sambel secara gratis. Ketika menjadi panitia lomba drama modern se-Bali yang pementasannya dilaksanakan tiap malam di Taman Budaya, Art Centre, tahun 1983, saya menjadikan nasi jinggo Suci sebagai hidangan buat panitia yang semuanya adalah mahasiswa Fakultas Sastra Unud.

Dibandingkan senggol Lila Bhuwana yang tutup pukul 12.00 malam, opening hour senggol Suci jauh lebih larut, seolah lebih setia menjaga denyut nadi kota. Sejumlah seniman suka nongkrong di tempat ini. Sastrawan Gerson Poyk (alm), dari NTT, ketika tinggal di Bali sering makan sate dan minum bir di Suci tengah malam, begadang bersama penyair Umbu Landu Paranggi dan dramawan dan bintang film AAN Jagatkarana (alm). Kebetulan, kediaman Jagatkarana hanya di seberang jalan, jadi gampang bagi beliau nongkrong. Sering beliau hanya muncul dengan pakaian tidur seperti kaos dan sarung. Seniman topeng Carangsari, I Gusti Ngurah Windia, kalau pulang dari pementasan sesekali juga mampir ke Suci untuk santap dini hari.

Sejalan dengan usaha mempercantik dan mempermodern kota Denpasar, sosok Suci sebagai senggol, pompa bensin, dan terminal lalu digusur. Ini terjadi menjelang akhir tahun 1980-an. Di bekas senggol Suci berdiri Suci Plaza.

Pedagang senggol Suci dipindahkan ke Lapangan Pekambingan, lokasinya di Jl Diponegoro di depan Bali Mall Ramayana (yang waktu itu belum berdiri). Karena letaknya kurang strategis, suasana senggol Pekambingan relatif sepi. Pedagang tetap jualan sampai larut malam, tetapi pengunjung tak seramai Suci.

Tak lama kemudian, lokasi senggol Pekambingan pun digusur lagi karena tempat itu disulap menjadi pertokoan. Para pedagang ada yang pindah ke senggol Kereneng, ada pula yang dipindah ke tepi selatan kuburan Badung, dekat terminat Tegal. Setelah pindah berkali-kali, tamatlah riwayat senggol Suci.

Lokasi senggol Suci diubah menjadi pertokoan bertingkat dan di bawahnya untuk parkir. Seperti pertokoan lain, Suci Plaza pun tak berhasil membuat Denpasar mentereng. Banyak toko tidak laku, belum lagi kualitas bangunannya kurang begitu tinggi, kebocoran atau kemampatan dari air hujan dan kamar mandi tampak di sana-sini. Arena parkir bawah tanah semula tampak ideal, tapi perkembangan jumlah mobil yang begitu cepat, membuat kehadirannya tidak banyak memberikan solusi.

Belakangan di emper depan Suci Plaza muncul dagang makanan dan jamu. Kehadiran dagang makanan ini seolah merupakan reinkarnasi mini atau panggilan tanah Suci untuk menghidupkan pasar malam yang pernah jaya di sini. Dagang makanan ini menunjukkan bahwa kemampuan dan gaya hidup sebagian warga kota Denpasar masih dominan pada model senggol, tampak belum bisa digantikan sepenuhnya oleh style plaza atau mall. [+++]
posted by The Balebengong 1:18 PM   2 comments
 
2 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Thursday, June 28, 2007
Es Campur Bikin Kesandung

Oleh Luh De Suriyani

Es campur sederhana yang elegan. Daluman dari sari daun daluman, kelapa parut kasar, dan santan gula kental. Gurih dan bercita rasa tegas.

Kebanyakan es campur tak memiliki rasa yang dominan. Biasanya karena bahan-bahan yang dicampur terlalu banyak jadi terasa setengah-setengah. Nah, dimana kita cari es campur yang tidak setengah-setengah rasa itu?

Salah satu tujuan wisata kuliner yang tidak boleh dilewatkan adalah Pasar Badung. Lokasinya di sekitar Jalan Gajah Mada Denpasar. Pasar berlantai empat ini paling sibuk di Bali. Buka 24 jam, jadi bisa berwisata 24 jam pula. Tapi, untuk es campur yang kita ulas ini, kita mesti datang ke pasar pada pukul sembilan pagi hingga empat sore.

Kios penjualnya berada di lantai tiga pasar yang pintu masuknya bisa dari Jl Gajah Mada maupun Jl Pulau Sumatera ini. Karena pedagang dalam di pasar ini hanya boleh buka dari pagi sampai sore, maka kita mesti datang sesuai jam operasi pasar.

Es campur ini sudah hampir 20 tahun membuat antre pembelinya. Padahal dari bahan dan gaya penjualnya, tak ada yang istimewa. Istimewanya hanya terletak di cita rasa santan dan gulanya. Inilah jurus utama untuk membuat es campur uwenak tenan.. Santan dan gulanya sangat kental, tidak dicampur bahan tambahan. Kecuali untuk gula dengan pewarna makanan yang warnanya tak pernah berubah puluhan tahun. Warnanya pink muram alias merah muda karena gula pasirnya tak banyak dicampur air.

Ketika melihat dua bahan terakhir yang dicampurkan, santan dan gula pink muram itu, air liur selalu tertelan tak sengaja ke kerongkongan. Soal harga, standar. Satu gelas es campur, dijual Rp 2500 saat ini. Biasanya, harga akan merangkak naik Rp 500 tiap tahun, mengikuti inflasi.

Ratusan pembeli per hari membuat pedagangnya tak punya keinginan buka cabang. Yang sibuk hitung-hitungan keuntungan biasanya pembeli yang antre. Misalnya, saya. Ketika melihat puluhan orang antre, saya suka berpikir berapa keuntungan bersih yang didapat setiap hari.

Kadang-kadang, terbersit untuk buka kerja sama dagang. Dasar otak serakah, kerjanya mikirin keuntungan yang didapat orang lain. Hehe...

Minum es di Pasar Badung, awas jangan sampai kesandung. Sebab di Pasar Badung, di mana ribuan orang ada di sana tiap hari, kesandung ini rentan terjadi. Di pasar ini, jarak satu kios ke kios lain sempit sekali. Hanya cukup satu badan manusia untuk lewat. Ketika lagi antre atau menyeruduk pembeli lain melewati antrian, kaki-kaki pembeli suka kesandung kursi atau meja kayu yang ada di pinggir kios, termasuk menendang mereka yang antri.
Makanya, awas jangan sampai kesandung kalau minum es campur di Pasar Badung. Kalau kesandung, es bisa tumpah. Sudah bayar mahal, tidak bisa menikmati segarnya es, ketumpahan es pula. [+++]

posted by The Balebengong 1:28 PM   1 comments
 
1 Comments:
  • At April 9, 2009 at 9:18 PM, Blogger oom-bali said…

    ((( Cara Sederhana meMIKAT Pelanggan & Tamu Anda )))

    Unik..
    Langka..
    efek Fantastik..
    yang tidak dimiliki oleh Piring Biasa

    http://piring-energi.blogspot.com

     
Post a Comment
<< HOME

Tuesday, June 26, 2007
Merayakan Galungan dengan Jotan
Oleh Anton Muhajir
Saya baru selesai sholat maghrib ketika pintu gerbang rumah seperti digeser orang. Kamar tempat saya sholat sekitar 10 meter dari pintu dari besi itu. Jadi saya bisa mendengar jelas ketika ada orang masuk rumah.

Saya keluar kamar. Dadong Devita mengetuk pintu. Dadong adalah sebutan untuk nenek di Bali. Devita mengacu pada nama cucunya.

Saya membuka pintu. Dadong masuk membawa sekeranjang buah dan kue. Ada apel, pir, pisang, jeruk, dan rambutan. Kuenya ada begina semacam kerupuk, jaja uli, tape ketan, dan krupuk melinjo.

Sekitar 15 menit sebelumnya, Gede, Bu Wayan, dan Made membawa kue dan buah yang sama. Buah dan kue di meja makan kami semakin penuh ketika Bu Mega juga membawa roti ke rumah malam itu.

Rumah kami di gang kecil pinggiran Denpasar utara. Sepanjang sekitar 50 meter gang itu tinggal aneka rupa keluarga dan berbeda agama.

Di ujung gang, persis di pinggir sungai, Bu Jeani dan Pak Anton tinggal bersama tiga anak mereka Jeani, William, dan Andrew. Pasangan ini beda agama. Bu Jeani muslim asli Padang. Pak Anton Katolik asli Timor Timur, yang kemudian jadi Timor Leste, dan kini warga Denpasar.

Keluarga saya sendiri muslim. Kami sekuler. Tidak ada tanda apa pun yang identik dengan agama apa pun di rumah kami. Bagi kami agama biarlah jadi urusan kami. Bukan untuk diperlihatkan pada orang lain. Istri saya orang Bali dan jadi muallaf ketika menikah dengan saya. Cerita ini sama dengan tetangga kami, Pak Sutir dan Bu Risma, yang kini punya dua anak.

Selebihnya, selain tiga keluarga itu, delapan keluarga lain beragama Hindu. Dan, besok tetangga-tetangga kami ini merayakan Galungan. Tapi, meski tidak beragama Hindu, kami ikut merayakan. Ya, lewat buah dan kue yang dibawa ke rumah kami petang tadi.

Tradisi membawa kue dan buah menjelang hari raya itu disebut ngejot. Tidak hanya menjelang Galungan tapi juga pada upacara lain seperti pernikahan, otonan (peringatan hari lahir), dan seterusnya. Ngejot sebenarnya biasa dilakukan pada tiap tetangga tanpa melihat agama atau suku apa pun. Namun karena tetangga yang Hindu juga merayakan, dan berarti punya buah dan kue yang sama, jadilah ngejot ini lebih banyak untuk yang beragama lain.

Tapi ini tidak mutlak. Kadang-kadang yang sama-sama merayakan Galungan pun berbagi kue atau buah terutama kue yang tidak mereka punyai. Misalnya memberi kue bolu pada tetangga yang tidak punya.

Ngejot, bagi saya, adalah wujud dari toleransi antar-tetangga. Bhinneka Tunggal Ika, kata Mpu Prapanca. Ini kalau dilihat dari perspektif agama. Tapi ngejot bisa juga adalah praktik dari sosialisme. Bukan sosialisme ideologis yang agak berat ala Hugo Chavez, Eva Morales, dan seterusnya, tapi cukup sosialisme sebagai praktik bertetangga, saling membagi apa yang kami punya.

Karena itu ngejot tidak melulu milik orang Hindu. Ketika merayakan lebaran Oktober tahun lalu, kami pun ngejot dengan membagi kue lebaran. Tidak hanya pada tetangga tapi juga pada keluarga di Padangsambian, Oongan, Jl Kenyeri, dan tentu saja mertua di Jl Banteng.

Ketika Natal pun kami mendapat jotan berupa nasi kotak dari Pak Anton, tetangga kami yang juga pegawai negeri tersebut.

Bagi sebagian orang mungkin ini terlalu romantik. Memang ada ketegangan-ketegangan hubungan antar warga akibat perbedaan itu. Namun ngejot bisa jadi salah satu upaya untuk mengingatkan warga bahwa kami bisa saling menghargai dan mengormati di antara perbedaan itu. Ngejot juga perlu terus dibiasakan karena ini soal perut juga. Kalau sudah tentang makanan kan paling gampang untuk mengajak orang.
Selain itu ngejot juga perlu diajarkan pada anak-anak. Biar mereka tidak salah paham lalu bilang, “Awas ada suster ngejot..” Eh, itu suster ngesot ya.. [+++]
-artikel ini juga dimuat di http://rumahtulisan.blogspot.com/-
posted by The Balebengong 9:11 PM   1 comments
 
1 Comments:
Post a Comment
<< HOME

myprofile
Name: The Balebengong
Home: Denpasar, Bali, Indonesia
About Me: Tiap kabar bisa diceritakan di balebengong. Tidak harus kabar penting, kabar paling pribadi pun bisa. Sebab di balebengong, tiap orang bisa membuat cerita. Tidak hanya membacanya. Untuk berbagi kabar silakan kirim ke antonemus@yahoo.com atau slokainstitute@yahoo.com. Jika ada kabar penting bisa juga SMS ke 0817348794 atau telepon ke 0361-7989495
See my complete profile


previouspost
Pindah ke www.balebengong.net
Melihat Bali di Bajra Sandhi
Memerdekakan Perut di Renon
BEDO BALI DESIGN WORKSHOP
Suci (Plaza)
Es Campur Bikin Kesandung
Merayakan Galungan dengan Jotan
Di Mana Branding Bali Berada?
Pecandu Tuntut Vonis Rehabilitasi
Memilih Tempat Makan di Denpasar


myarchives
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
September 2007


mylinks
TemplatePanic
Blogger


bloginfo
This blog is powered by Blogger and optimized for Firefox.
Blog designed by TemplatePanic.