the balebengong
Tempat Denpasar Berbagi Kabar
 
Thursday, May 31, 2007
Nak Nik, Kording ala Anak Subak Dalem



Dengan penuh semangat, sepuluh anak itu mengangkat tangan mereka ke udara bersama-sama sambil berteriak, “Horeeeee...” Lalu semua tertawa tergelak.

Sore Jumat pekan lalu itu mereka merayakan selesainya koran dinding [kording] buatan sendiri. Inilah bukti bahwa anak-anak pun bisa mengelola informasi. Mereka tidak hanya mengonsumsi, mereka kini memproduksinya. Dari mereka, oleh mereka, untuk warga sekitarnya. Mereka memberi nama kording itu Nak Nik dengan slogan Kenyem Anak Subak Dalem, artinya Senyum Anak Subak Dalem.

Kording buatan anak-anak Jl Subak Dalem Gg V Desa Peguyangan Kecamatan Denpasar Utara itu berisi tulisan, foto, dan gambar. Ada cerita tentang sungai yang kotor, kelinci yang lucu, anjing bernama bleki, ayam jago yang suka selingkuh, dan seterusnya. Anak-anak yang hampir semua masih SD itu menuliskan saja apa yang mereka rasa. Jadinya sangat personal dan natural. Tidak ada kalimat yang dibuat-buat demi memuaskan redaktur atau pembaca. Pokoknya muncul saja seperti apa yang mereka rasa.

Made Sudarsana, siswa kelas I SMP misalnya, menulis tentang ayam jagonya. Bacalah sebagian tulisan Made ini.

...Aku sayang sekali dengan Jambul. Sejak kecil ia kupelihara dengan kasih sayang. Walau dia ayam jago, aku tak punya keinginan untuk membawanya ke tempat aduan. Aku takut dia mati.

Jeleknya si Jambul suka selingkuh. Kemudian dia meninggalkan pasangannya. Huuhhh, aku sebel!

Tidak perlu kategori apa jenis tulisan itu. Bisa prosa, bisa pusi, bisa berita kisah, bisa apa saja. Terserah dan suka-suka Anda mengklasifikasikannya. Tapi apa pun itu, tulisan Made sudah bisa menggambarkan apa yang dia rasakan. Made lalu menyampaikannya pada orang lain.

Biar tidak kena hujan, kording berbahan gabus itu dilapisi plastik. Kording made in anak-anak itu lalu diikat di pagar salah satu warga. Meski cerita-cerita mereka hanya sepele, banyak juga orang yang lewat ikut membaca. Ada yang panas hati gara-gara disindir suka buang sampah di sungai, banyak pula yang tertawa setelah baca.


-lebih lengkap isi kording nanti diposting belakangan-
posted by The Balebengong 1:52 PM   1 comments
 
1 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Wednesday, May 30, 2007
Tumor Membesar Setelah Dioperasi
Denpasar (Bali Post)-Sungguh malang nasib Ni Ketut Cenik (60) warga Banjar Aseman Abiansemal. Bagaimana tidak, meski ia sudah menjalani operasi untuk mengangkat tumor di dalam perutnya, tumor tersebut justru makin membesar, hingga ia terlihat seperti hamil delapan bulan.

Ditemui di ruang tunggu Poliklinik RS Sanglah, Cenik yang ditemani anaknya Nyoman Jiwa (41) dan tetangganya Putu Yeni (38) mengaku sakitnya mulai dirasakan pada awal Januari 2006.
''Akhirnya diperiksakan ke bidan dan diduga menderita tumor karena dilihat ada benjolan,'' ujar Yeni. Cenik kemudian dirujuk ke salah satu RS Swasta di Denpasar. Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, ia kemudian dioperasi pada akhir bulan Januari. ''Cenik dirawat sekitar 2 minggu. Pada Jumat (9/2) ia diperbolehkan pulang,''imbuh Yeni. Biaya operasi tersebut sekitar Rp 6 juta.

Selama dirawat di rumah, lama kelamaan perut Cenik makin membesar. ''Dulu sebelum dioperasi perutnya tidak sebesar seperti sekarang. Hanya terasa sakit. Tetapi setelah operasi, malah besar seperti orang hamil,'' tutur Jiwa.

Karena tidak punya biaya, akhirnya baru Sabtu (26/9) lalu Cenik memeriksakan diri ke RS Sanglah dengan berbekal Askeskin. ''Sekarang (kemarin-red) hendak melakukan dirontgen. Sabtu (26/5) lalu sudah melakukan cek darah. Katanya sih tumornya yang membesar,'' jelas Yeni.

Dalam keseharian Cenik tidak bekerja. Ia termasuk warga miskin yang mendapat bantuan uang dari pemerintah setiap 3 bulan sekali. Sementara anaknya bekerja sebagai petani. (san)
posted by The Balebengong 2:22 PM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Thursday, May 24, 2007
Anak-anak Melawan Stigma dan Diskriminasi
[versi Bahasa Inggris tulisan ini dimuat The Jakarta Post Kamis, 24/5/07]

Sarah, 10 tahun, terkejut ketika baru mengetahui ia telah berkolaborasi dengan sejumlah anak terdampak HIV/AIDS. Perempuan kecil ini menutup mulutnya dan dengan tergesa bertanya, ”kenapa anak kecil bisa kena AIDS? Kan cuma remaja yang bisa kena?”

Tak berhenti disana, ia kembali berujar, “Kalau bersalaman bisa menular?” Sarah adalah salah satu dari 75 siswa musik Bali Violin School (Bavisch) yang mengikuti pre-konser bersama Paduan Suara Panji Sakti. Paduan suara ini terdiri dari 30 anak-anak terdampak HIV/AIDS yang berasal dari Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng.

Pre-konser yang dilaksanakan di Bali Handara Hokaido, sebuah resor di Bedugul ini adalah pemanasan menjelang konser amal bertajuk Bali Love and Care pada 9 Juni nanti. Tak hanya bermusik, ratusan anak-anak ini menghabiskan waktu setengah hari di Bedugul dengan bermain sambil berkenalan dengan HIV/AIDS.

Sarah misalnya. Ia dan Dian, temannya yang dua tahun lebih tua terus mengajukan pertanyaan soal HIV dan AIDS ketika diajak berbincang. Ia penasaran kenapa banyak anak-anak yang bisa kena dampak akibat penularan HIV. Beberapa anak dari Gerokgak yang ikut konser adalah yatim atau yatim piatu karena orang tua mereka meninggal akibat AIDS, fase ketika kekebalan tubuh hilang dan penyakit mudah masuk akibat HIV.

Difasilitasi Bali Community Cares (BCC), komunitas yang peduli pada anak-anak terdampak HIV/AIDS, pre konser ini juga mengajak orang tua untuk memahami HIV/AIDS. Melalui anak-anaknya, mereka ikut serta dalam dialog lewat musik untuk mengurangi stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV/AIDS (Odha).

Untuk pertama kalinya, 30 anak-anak paduan suara Panji Sakti berdiri di atas panggung menyanyikan dua lagu, Bungan Sandat dan I Have a Dream, diiringi orkestra mini dari Bavisch. Paduan suara ini pun baru terbentuk beberapa hari menjelang pre-konser dan hanya dilatih oleh instruktur satu kali. Chairul Anam, pemilik Bavisch datang sekali ke Gerokgak dan melatih cara bernyanyi dalam paduan suara.

Tak heran, demam panggung melanda sejumlah anak-anak paduan suara. Gede Edi, 12 tahun, sampai menangis karena tiba-tiba pusing dan sulit bernafas. Edi kini menjadi yatim piatu karena infeksi HIV yang merenggut kedua orang tuanya.

Ibu Edi, Kadek Widiasih, meninggal setahun lalu karena acquried immune deficiency syndrome (AIDS). Widiasih hanya ibu rumah tangga biasa. Dia tidak pernah melakukan perbuatan beresiko tinggi menularkan virus penyebab AIDS, human immunodeficiancy virus (HIV), seperti hubungan seks berganti-ganti pasangan tanpa kondom atau memakai jarum suntik secara bergantian. Ibu satu anak itu tertular HIV dari suaminya, Wayan Sulatra yang meninggal tiga tahun lalu juga karena AIDS.

Seusai konser, mereka bermain sambil menambah pengetahuan soal HIV dan AIDS, yang dipandu dokter Oka Negara, salah satu aktivis HIV/AIDS di Bali. Menggunakan kertas warna warni dokter Oka memperkenalkan apa itu HIV dan kenapa anak-anak bisa terinfeksi. Oka mengatakan banyak anak terinfeksi sejak bayi, karena ibu yang terinfeksi HIV tidak tahu cara mencegah agar bayi tak tertular. Salah satunya dengan tidak memberikan air susu ibu (ASI) karena itu adalah salah satu medium penularan langsung. Medium lainnya adalah darah dan cairan kelamin.

Setelah mengetahui informasi dasar itu, Sarah dan Dian menjadi tak ragu bermain lebih intim dengan anak-anak yang terdampak HIV itu. Sarah yang semula agak ragu mendekat karena tak tahu, malah terlihat agresif bermain bersama sambil berpegangan tangan dengan empat teman barunya dari Gerokgak.

Sekilas peristiwa di pre konser ini tak berbeda dengan kondisi di Kecamatan Gerokgak. Ketika diketahui beberapa orang terinfeksi HIV, banyak penduduk yang mengucilkan Odha. Mereka yang terinfeksi HIV dianggap dikutuk atau kena sakit buatan (niskala).

Kemudian Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI) melakukan penjangkauan dan terbukalah puluhan kasus lainnya. Kebanyakan kasus terjadi pada pasangan suami istri atau dampak hubungan heteroseksual. Menurut catatan YCUI, Gerokgak berpotensi melahirkan banyak anak-anak yang positif HIV, mengingat tingginya perilaku berisiko terinfeksi HIV di daerah ini. Semakin banyak Odha, membuat sebagian penduduk membuka mata bahwa epidemi ini sangat dekat dan menginfeksi siapa saja. Inilah yang perlahan mengurangi stigma dan diskriminasi akibat mitos soal HIV/AIDS.

Menurut Data Dinas Kesehatan Bali, hingga Februari 2007, terdapat 1368 kasus HIV/AIDS di Bali, 200 orang diantaranya di Buleleng. Gerokgak adalah daerah dengan prevalensi kasus HIV/AIDS tertinggi di Buleleng.

Semakin banyak kasus terbuka menyisakan tantangan baru soal perawatan anak-anak yang terdampak HIV, khususnya anak-anak yatim piatu. Karena itulah BCC melakukan advokasi dengan memberikan bantuan pangan, sandang, dan pendidikan bagi 23 anak-anak yatim atau yatim piatu di Gerokgak. Selain itu disiapkan arena bermain dan belajar bersama, agar kelak mereka menjadi corong pencegahan HIV di komunitasnya.

Salah satu caranya dengan melibatkan anak-anak dalam konser musik. Interaksi langsung anak-anak ini menjadi hal yang paling mudah dipahami orang tua mereka untuk mengurangi stigma dan diskriminasi pada Odha. Dan gesekan biola Sarah pun tedengar lebih merdu mengiringi paduan suara Panji Sakti. [+++]
posted by The Balebengong 2:09 PM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Abuan Mewujudkan Fair Trade hingga Pelosok Desa


Ni Nengah Rasa, 51 tahun, hampir menjual tanahnya dengan harga murah pada 2004 lalu. Janda beranak tiga ini terjerat utang Rp 5 juta untuk biaya ngaben suaminya. Dia punya waktu enam bulan melunasi utang tersebut. Namun pendapatannya dari bertani tak cukup untuk melunasi utang. “Tiang bekerja sendiri karena anak-anak masih kecil,” kata Men Tiar, demikian dia biasa dipanggil di kampungnya.

Men Tiar kak kunjung bisa membayar utang. Maka, tanah miliknya pun hampir diambil orang yang meminjamkan uang padanya. Tanah di pinggiran Desa Abuan, Kecamatan Kintamani, Bangli itu memang jadi jaminan ketika meminjam uang.



Masalah Men Tiar itu didengar Agung Alit, Direktur Mitra Bali, ketika sedang jalan-jalan di desa sekitar 10 km barat objek wisata Kintamani tersebut. Melalui salah satu warga desa, Gung Alit kemudian menyewa tanah Men Tiar. “Dari pada tanah itu dijual, lebih baik saya sewa. Saya cuma menggunakan, sementara hak miliknya tetap ada pada dia,” kata Gung Alit.

Tanah seluas 900 are itu tak jadi berpindah tangan. Kini di atasnya malah ditanam ribuan pohon albesia yang di Bali disebut belalu. Tanaman tersebut merupakan hasil replantasi yang dilakukan Mitra Bali pada 8 Mei 2004. Meski status tanahnya disewa dan pohon itu ditanam Mitra Bali, Men Tiar toh mendapat 70 dari hasil penjualan kayu albesia itu nanti.

Di bawah ribuan pohon bahan kerajinan tersebut, Men Tiar juga masih bisa menanam tanaman pertanian seperti singkong, cabe, dan jagung. “Hasilnya lumayan untuk nambah pendapatan,” ujarnya pekan lalu.

Men Tiar perlu waktu dua tahun lagi untuk memanen albesia tersebut. Sebab albesia baru bisa dijadikan bahan baku kerajinan kalau sudah berumur lima tahun dengan diameter pohon sekitar 10 cm. Namun Men Tiar sudah bisa merasakan keberhasilan dalam bentuk lain. Tanahnya tak jadi dijual dan sebagian warga desa Abuan kini mengikuti jejaknya.

Di kanan kiri sebagian jalan desa kini mulai ditanami pohon albesia. Tanah seluas 500 are, tak jauh dari kebun Men Tiar, juga baru ditanami albesia pekan lalu. Puluhan warga lain pun menanam bibit pohon tersebut di pematang tegalan milik mereka. Salah satunya Nengah Pundoh, 40 tahun, warga desa Abuan juga. Di pematang kebun 80 are miliknya, Pundoh menanam albesia. Daun albesia yang jatuh sekaligus jadi pupuk untuk jagung, cabe, dan jeruk di kebunnya.

Tiga tahun terakhir penduduk Desa Abuan memang gencar menanam pohon albesia. Pohon ini paling banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan kerajinan di Abuan. Sekitar 70 persen dari 400 keluarga di desa ini menjadikan kerajinan sebagai salah satu modal pendapatan selain bercocok tanam. Bahan baku kerajinan diperoleh dengan memotong pohon albesia.

“Sebelumnya kami motong-motong pohon saja. Kami tidak pernah berpikir tentang bagaimana mencukupi kebutuhan bahan baku kerajinan itu. Pokoknya kalau ada pohon yang sudah tua ya tebang saja untuk dijadikan bahan baku,” ujar Pundoh.

Kesadaran Pundoh untuk menanam albesia, sebagaimana kesadaran Men Tiar untuk tidak menjual tanah, adalah dua contoh keberhasilan Mitra Bali, lembaga swadaya masyarakat sekaligus badan usaha di bidang fair trade, mewujudkan praktik perdagangan berkeadilan (fair trade).

Gung Alit, yang pernah aktif di kelompok diskusi aktivis Bali bernama Kelompok Merah Putih, mendirikan Mitra Bali setelah melihat praktik tidak adil pada bisnis kerajinan di Bali. “Pengusaha kerajinan mengambil keuntungan terlalu banyak dari perajin sementara perajin tidak pernah tahu berapa harga produk kerajinan mereka dijual pada konsumen,” kata Gung Alit.

Melihat praktik tidak adil itu, Gung Alit mendirikan Mitra Bali pada 1993. Sebelumnya sejak 1991 dia sebagai pekerja lapangan Yayasan Pekerti Jakarta di Bali. Pekerjaan itu membuatnya sering bertemu perajin dan tahu masalah yang mereka hadapi. “Hal yang menarik saya adalah karena ada sisi kemanusiaan untuk kaum marjinal dalam pekerjaan ini,” kata Sekretaris Jenderal Forum Fair Trade Indonesia ini.

Fair trade, menurut organisasi fair trade sedunia International Federation of Alternative Trade (IFAT), adalah perdagangan yang berdasarkan pada dialog, keterbukaan dan saling menghormati. Tujuannya menciptakan keadilan, pembangunan berkelanjutan, melalui penciptaan kondisi perdagangan yang lebih fair serta memihak pada hak-hak produsen dan pekerja yang terpinggirkan.

Ada sembilan prinsip utama yang diterapkan oleh badan usaha maupun LSM pendukung gerakan fair trade. Di antaranya keterbukaan dan pertanggungjawaban, pembayaran yang layak, kesetaraan laki-laki dan perempuan, serta menjaga kelestarian lingkungan.

Semua prinsip itu dilakukan Mitra Bali. Misalnya pelestarian lingkungan itu. Menurut Gung Alit, sebagian besar perajin di Bali tidak peduli dengan perlunya menanam kembali bahan baku kerajinan. Namun lima tahun terakhir, kekurangan bahan baku itu terasa. “Jalan keluarnya adalah dengan menanam kembali bahan baku tersebut,” ujar Gung Alit.

Karena itu, tiap tahun Mitra Bali mengadakan penanaman kembali bahan baku kerajinan terutama ketika memperingati Hari Fair Trade Internasional tiap 4 Mei. Sejak 2004, Mitra Bali memusatkan replantasi itu di desa Abuan, yang memang akan dijadikan pilot project Desa Fair Trade. 5 Mei lalu misalnya mereka menanam seribu pohon belalu di 500 are tanah di Abuan.

Tak hanya soal lingkungan, Mitra Bali memperhatikan benar masalah pembayaran pada perajin. “Saya selalu mendapat uang muka 50 persen ketika Mitra Bali order barang. Kalau sudah selesai, paling lama satu minggu setelah itu saya pasti sudah dibayar penuh semua pembayaran barangnya,” kata Pundoh pekan lalu.

Sebelum jadi perajin untuk Mitra Bali, bapak dua anak itu pernah ditipu pengusaha kerajinan. Pada pemesanan pertama dia dibayar penuh meski dicicil dua kali setelah produk selesai. Pada pemesanan kedua, pengusaha itu tidak bayar sama sekali. Pundoh pun mendatangi alamat yang diberikan di desa Mas, Ubud. Ternyata alamat itu palsu. “Memang sih ruginya hanya ratusan ribu, tapi bagi orang kecil bagi saya, itu sangat besar artinya,” ujar Pundoh.

Gung Alit sendiri mengaku sangat tegas menerapkan fair trade sebagai model bisnis. Pembayaran uang muka 50 persen adalah praktik dari prinsip pembayaran layak. Padahal, menurutnya, banyak pengusaha kerajinan yang bahkan sampai empat bulan setelah pembelian tidak juga membayar ke perajin. “Makanya banyak yang bilang Mitra Bali is the best in payment,” ujarnya yakin.

Tak hanya memperhatikan pembayaran, Gung Alit juga memberikan penjelasan detail pada produsen dan pembeli produk. Misalnya berapa harga yang dia beli dari perajin dan berapa harga yang dia jual pada pembeli. Kalau ada perubahan harga, hal itu didiskusikan bersama perajin maupun pembeli. Jadi harga yang didapat adalah kesepakatan bersama, bukan sepihak.

Untuk mengukur keberhasilan praktik fair trade di perusahaannya maupun pada perajin dampingan, Gung Alit dengan stafnya di Yayasan Mitra Bali melakukan evaluasi rutin tiap tahun. Evaluasi itu antara lain laporan keuangan, self assesment, dan penilaian dari pihak luar. Nantinya hasil evaluasi itu akan dibawa ke kantor pusat IFAT. “Dengan cara seperti itu, kami bisa terus menjaga agar perdagangan yang kami lakukan memang masih pada jalur berkeadilan,” ujarnya.

Dari semula hanya tujuh perajin ketika baru memulai fair trade di Bali, saat ini Mitra Bali mendampingi 80 kelompok perajin yang bisa menghidupi lebih dari 2000 orang. Perajin ini tersebar di Bali serta sebagian Jawa Timur dan Yogyakarta. Hasil kerajinan mereka berupa pernak-pernik hiasan seperti gantungan kunci, bingkai foto, tempat lilin, patung, dan semacamnya. Mitra Bali juga membuat kerajinan sendiri di Desa Lodtunduh, Ubud, Gianyar.

Abuan hanya salah satu contoh bagaimana fair trade itu bisa diterapkan di Bali hingga pelosok desa. Men Tiar tidak harus menjual tanahnya untuk membayar utang, bahkan kini membangun rumah baru. Pundoh bisa membuat kerajinan sambil bertani. Dari pukul 7 hingga pukul 9 pagi dia mengurus kebun. Selesai bekerja di kebun, dia baru membuat kerajinan. Dia menggergaji kayu, memahatnya, dan menghaluskan jadi bahan kerajinan mentah. Kadang-kadang dua anaknya, kelas I dan II SMA, membantu mengecat kerajinan hingga siap dipasarkan.

Patung kucing, gajah, dan babi produksi kerajinan rumah tangga itu kemudian dipasarkan hingga Inggris, Belanda, Jerman, Amerika Serikat, Spanyol, Austria, dan Kanada.

Membuat kerajinan di desa Abuan tetap jadi pekerjaan kedua, setelah bertani. Namun Pundoh mengaku pendapatan dari kerajinan tetap lebih besar. Tiap hari dia bisa mendapat minimal Rp 25 ribu. Kalau lagi banyak order, bisa empat kali lipatnya. “Kalau bertani kan kadan-kadang rugi,” ujarnya.

Fair trade membuat petani Abuan tak harus kehilangan tanah, bebas dari kerugian, dan tetap punya kebebasan untuk bekerja. [++]
posted by The Balebengong 1:29 PM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Soto Karangasem, Weteng Wareg Gumi Ajeg

Soto karangasem menambah kekayaan kuliner Bali. Tak hanya mapan secara ekonomi, pedagangnya pun bisa jadi tuan di tanah sendiri. Mereka punya slogan weteng wareg gumi ajeg.

Di bawah bangunan semi permanen beratap dan berdinding seng, Wayan Sukanada, 44 tahun, melawan stereotip bahwa orang Bali malu bekerja di sektor informal. Sejak 1980 pria asal Desa Ngis, Kecamatan Manggis, Karangasem itu berdagang soto sapi di pinggir jalan raya di daerah Oongan, Denpasar timur. Tiap hari dia melayani pelanggan yang rata-rata karyawan swasta di sekitar tempat mangkalnya.



Buka sejak pukul 6.30 Wita hingga sekitar pukul 12.30 Wita, Sukanada menghabiskan paling sedikit 6 kg daging sapi untuk soto dan 1 kg untuk sate. Sedangkan beras rata-rata 10 kg per hari. Dengan jumlah tersebut dia bisa memperoleh pendapatan kotor sekitar Rp 500 ribu per hari.

Maka, bukan hanya secara sosial ekonomi dia mapan, misalnya bisa menyekolahkan tiga anaknya. Urusan ritual pun dia berbangga karena bisa melakukan upacara penghormatan leluhur yang dianggap paling besar di desanya, Nawur Sanjana. Upacara Dewa Yadnya itu hanya dilakukan sekali seumur hidup oleh sebuah keluarga yang merasa diberkahi secara ekonomi. Kalau ada orang yang tidak bisa melakukannya, maka keturunannya tetap harus melaksanakan upacara itu.

Tidak setiap orang bisa melaksanakan karena mahalnya biaya upacara ini. Misalnya, Sukanada dan empat saudaranya harus mengorbankan sepuluh sapi untuk upacara itu.
“Kan bangga ya dari jual soto saja bisa melaksanakan upacara itu,” kata Sukanada.

Ketika tiba upacara di desanya, sekitar 100 km timur Denpasar, Sukanada bisa menunjukkan keberhasilannya berdagang soto sapi. Tak hanya dia tapi juga keluarga, bahkan desanya. Soto karangasem memang jadi salah satu kebanggaan desa tetangga Candi Dasa tersebut.

Sukanada hanya satu dari puluhan pedagang soto karangasem di Denpasar. Mereka tersebar di Kreneng, Oongan, Tainsiat, Pasar Badung, Tonja, dan tempat lain di Denpasar. Semua pedagang itu berasal dari satu keluarga, atau setidaknya satu desa.

Terkenalnya soto karangasem di Denpasar diawali Nengah Widana, 55 tahun. Pak Ngah, demikian panggilannya, mulai menjual soto pada 1968 di Pekambingan, Denpasar. Dia bekerja di warung soto milik Nengah Karta, yang juga asal Karangasem.

Dari Pak Ngah inilah soto karangasem jadi terkenal. Sempat berganti pekerjaan, dengan menjual rokok dan minuman serta kursus menjahit, Pak Ngah memilih jual soto sendiri sejak 1974. Dia memulai dengan gerobak dorong di belakang Pasar Kumbasari. Saat itu dia menjual satu mangkuk soto dan satu piring nasi seharga Rp 35.

Mengandalkan pembeli yang sebagian besar kuli pembangunan Pasar Badung, jualan Pak Ngah laris. Buktinya dia bisa membeli tanah seluas 2,5 are di Amlapura, kota kabupaten Karangasem hanya lima bulan setelah mulai berdagang soto.

Pada 1982 Pak Ngah pindah ke Pasar Badung yang baru selesai dibangun. Jualannya makin laris. “Setelah itu saya berpikir untuk membuka warung di tempat lain,” kata bapak empat anak ini. Mantan Kelian Adat Banjar Taman Sari ini kemudian memilih tempat di Jl Patimura, tak jauh dari rumahnya. Tiap bulan dia bisa mendapat untung sekitar Rp 2,5 juta.

Keuntungan berdagang soto sapi itu digunakan membeli tanah. “Karena beli tanah kan tidak mungkin rugi,” katanya. Pak Ngah melawan anekdot bahwa orang Bali menjual tanah untuk beli bakso. Dia justru menjual soto untuk beli tanah.

Pelan-pelan usahanya makin banyak mendapatkan keuntungan. Selesai beli tanah di daerah Oongan, dia membangun rumahnya jadi tingkat dua. Padahal ketika pertama kali ditempati, rumah di Jl Banteng tersebut itu hanya berdinding bedek.

Meski usaha makin berkembang, Pak Ngah tak ingin menikmatinya sendiri. “Saya mulai ngajak adik-adik. Biar mereka juga bisa bekerja dan mandiri,” kata anak pertama dari lima bersaudara ini.

Kakek lima cucu ini pun mulai mengajak adik-adiknya berjualan satu per satu. Salah satunya Wayan Sukanada. “Saya dulu belajar juga sama Pak Ngah,” kata Sukanada. Pak Ngah memang hanya mengajari, bukan menjadikan mereka sebagai anak buah. Maka ketika dianggap sudah mampu, adik-adiknya pun membuka usaha dagang soto sendiri.

Adik-adik yang sudah mampu itu ada yang mengajak sepupu atau tetangga desa. Setelah sepupu atau tetangga itu bisa, mereka membuat usaha dagang soto sendiri.

Dari situ, soto karangasem menyebar ke berbagai tempat di Denpasar. Tidak ada data pasti. Namun sebagai gambaran, dari keluarga Pak Ngah saja ada sekitar 14 pedagang soto sapi. Contoh lain sepanjang di Jl Nangka Denpasar saja saat ini ada sekitar sembilan. “Tapi semua pasti pernah bekerja di dagangan saya sendiri atau keluarga saya,” kata Pak Ngah.

Karena berasal dari satu akar itulah, maka semua soto karangasem punya ciri dan cita rasa yang sama. Semua menggunakan daging sapi dipotong kecil-kecil mirip dadu. Kuahnya pakai aneka rempah seperti bumbu bawang putih, jahe, seledri, bawang goreng, cabe, merica, dan penyedap rasa. Sebagai tambahan, dan ini biasanya tergantung pedagang masing-masing, bisa ditambah lengkuas, bumbu rajang, ketumbar, dan pala. Kuah dan daging sapi segar ini kadang-kadang juga ditambah sate.

Pak Ngah sendiri sampai saat ini masih berjualan di Pasar Badung. Namun sudah tak banyak ikut campur sebab kini istrinya, Nengah Ariani, yang jualan sendiri di pasar terbesar di Bali tersebut. Dia hanya mengantar ketika berangkat ke pasar pukul tiga pagi dan menjemput pukul 16.30 wita.

Dari hasil jualan tersebut, Pak Ngah dan istrinya bisa membangun rumah untuk empat anaknya. Dia pun bisa beli tanah untuk simpanan serta menyama braya dengan bebas kapan pun dia mau. “Kalau ada tetangga upacara, kami bisa libur kerja dan mengikutinya dengan leluasa. Kalau pegawai (negeri maupun swasta) kan susah,” katanya.

Namun ada yang lebih membuat Pak Ngah bangga. “Kami bisa membuat makanan yang jadi ciri khas desa,” katanya. Soto karangasem identik dengan Karangasem, seperti juga ayam betutu identik dengan Gilimanuk atau serombotan identik dengan Klungkung. Soto karangasem menambah kekayaan kuliner Bali.

Meski demikian, Sukanada dan Pak Ngah masih menyimpan kegalauan. Menurut mereka keberhasilan soto karangasem seharusnya memacu orang Bali untuk berani melakukan pekerjaan yang selama ini dianggap menurunkan gengsi, seperti halnya berdagang kaki lima di pinggir jalan. “Saya lihat orang Bali masih sedikit yang punya semangat kerja berdagang kaki lima,” ujar Pak Ngah.

Kalau toh ada yang punya usaha dagang kaki lima, lanjut Pak Ngah, kemampuan mereka untuk mengelola usaha masih kurang. Misalnya kurang promosi, kurang bersih, hingga kurang ramah dengan pelanggan. “Kalau usahanya serius dan tahan banting, kita pasti berhasil. Kalau sudah berhasil kan pasti bisa beli tanah. Jadi bukannya malah jual tanah untuk bisa hidup,” katanya.

Dalam bahasa Pak Ngah, kalau perut sudah kenyang, maka tanah milik mereka tidak akan terjual. Bahasa balinya, weteng wareg gumi ajeg. Sukanada dan pedagang soto lain tak hanya menjadikannya sebagai slogan. Mereka telah membuktikan. [+++]

posted by The Balebengong 1:17 PM   1 comments
 
1 Comments:
  • At July 18, 2007 at 12:58 PM, Blogger Eka said…

    Blognya keren ... soto sapi Pak ketut di nangka salah satu yang rame pengunjung tiap pagi. Kebetulan saya tiap hari lewat .... Saatnya orang Bali melirik bahwa Kuliner adalah salah satu peluang usaha yang potensial.

     
Post a Comment
<< HOME

myprofile
Name: The Balebengong
Home: Denpasar, Bali, Indonesia
About Me: Tiap kabar bisa diceritakan di balebengong. Tidak harus kabar penting, kabar paling pribadi pun bisa. Sebab di balebengong, tiap orang bisa membuat cerita. Tidak hanya membacanya. Untuk berbagi kabar silakan kirim ke antonemus@yahoo.com atau slokainstitute@yahoo.com. Jika ada kabar penting bisa juga SMS ke 0817348794 atau telepon ke 0361-7989495
See my complete profile


previouspost
Pindah ke www.balebengong.net
Melihat Bali di Bajra Sandhi
Memerdekakan Perut di Renon
BEDO BALI DESIGN WORKSHOP
Suci (Plaza)
Es Campur Bikin Kesandung
Merayakan Galungan dengan Jotan
Di Mana Branding Bali Berada?
Pecandu Tuntut Vonis Rehabilitasi
Memilih Tempat Makan di Denpasar


myarchives
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
September 2007


mylinks
TemplatePanic
Blogger


bloginfo
This blog is powered by Blogger and optimized for Firefox.
Blog designed by TemplatePanic.