the balebengong
Tempat Denpasar Berbagi Kabar
 
Friday, June 29, 2007
Suci (Plaza)



Oleh Darma Putra

Pertokoan Suci Plaza yang terletak di sudut perempatan Jl Diponegoro-Hasanudin-Sumatra dulunya adalah pasar senggol, pompa bensin, dan terminal. Anehnya, selang satu setengah dekade, ciri senggol itu kembali muncul walau dalam ukuran kecil.

Sebelum berubah wajah menjadi jejeran toko emas dan parkir bawah tanah sejak akhir 1980-an, tempat ini sejak lama menjadi pusat kehidupan malam kota Denpasar. Di Suci-lah istilah nasi jinggo muncul.

Pada siang hari, Suci merupakan terminal untuk angkutan dalam kota dan antar-kota. Untuk angkutan antar-kota, Suci menghubungkan Suci-Sanglah; Sanglah-Suci-Gajah Mada; dan akhirnya juga Suci-Ubung. Tahun 1970-an dan 1980-an, angkutan kota dilayani bemo roda tiga. Sebelum terminal Ubung beroperasi, Suci merupakan salah satu tempat mangkal mini bus yang melayani angkutan ke arah Barat, seperti Tabanan dan Negara.

Terminal Suci yang arenanya relatif sempit juga dilengkapi dengan pompa bensin. Pompa bensin Suci merupakan salah satu pompa yang stragegis letaknya bagi kendaraan angkutan umum dan pribadi. Selain kesibukan lalu-lintas, Suci juga memancarkan kesibukan pasar kecil. Di arena yang sempit numplek pedagang kecil yang menjual sayur, buah, janur, kopi, dan pindang.

Malam hari, senggol Suci merupakan salah satu pasar malam yang ramai. Inilah senggol yang komplit untuk mencari hidangan malam. Ada dagang sate kambing, nasi campur, cap-cay puyung hai, soto ayam, dan kacang ijo. Di sana juga dagang pisang goreng dan martabak. Tak gampang mencari martabak dulu, tapi Suci sudah menyediakan. Yang tak ketinggalan adalah pedagang jamu. Makin malam makin lakulah jamu diuntungkan oleh untaian promosi: kalau begadang minumlah jamu; kalau minum jamu begadanglah!

Keistimewaan Suci yang patut dicatat karena senggol ini merupakan cikal-bakal nasi jinggo. Pedagang nasi bungkus ini nongkrong di sisi utara senggol, pinggir jalan. Di sisi tenggara juga ada, tetapi tak seenak yang jinggo ini. Harganya murah, rasanya sedap, dan kian lezat karena pedagang menyediakan sambel lalah-manis yang pas dengan nasi dan menu ayam atau sapi.

Kalau sekarang nasi jinggo menjadi salah satu identitas kota Denpasar, adanya di mana-mana, dijaga tamu-tamu (wanita muda), dijual malam hari, maka cikal-bakalnya adalah senggol Suci. Cirinya memang sama: nasi bungkus daun pisang, harga merakyat, makan sebungkus pasti tidak cukup. Berkeranjang-keranjang bungkus nasi laku dijual saban malam. Nasinya cepat habis jauh sebelum senggol tutup.

Pasti banyak yang setuju bahwa jinggo Suci jauh lebih enak daripada jinggo sekarang ini. Pengunjung malam bisa makan di sana, banyak juga yang membeli nasi jinggo berbungkus-bungkus untuk dimakan di tempat lain. Pedagang biasanya memberikan sambel secara gratis. Ketika menjadi panitia lomba drama modern se-Bali yang pementasannya dilaksanakan tiap malam di Taman Budaya, Art Centre, tahun 1983, saya menjadikan nasi jinggo Suci sebagai hidangan buat panitia yang semuanya adalah mahasiswa Fakultas Sastra Unud.

Dibandingkan senggol Lila Bhuwana yang tutup pukul 12.00 malam, opening hour senggol Suci jauh lebih larut, seolah lebih setia menjaga denyut nadi kota. Sejumlah seniman suka nongkrong di tempat ini. Sastrawan Gerson Poyk (alm), dari NTT, ketika tinggal di Bali sering makan sate dan minum bir di Suci tengah malam, begadang bersama penyair Umbu Landu Paranggi dan dramawan dan bintang film AAN Jagatkarana (alm). Kebetulan, kediaman Jagatkarana hanya di seberang jalan, jadi gampang bagi beliau nongkrong. Sering beliau hanya muncul dengan pakaian tidur seperti kaos dan sarung. Seniman topeng Carangsari, I Gusti Ngurah Windia, kalau pulang dari pementasan sesekali juga mampir ke Suci untuk santap dini hari.

Sejalan dengan usaha mempercantik dan mempermodern kota Denpasar, sosok Suci sebagai senggol, pompa bensin, dan terminal lalu digusur. Ini terjadi menjelang akhir tahun 1980-an. Di bekas senggol Suci berdiri Suci Plaza.

Pedagang senggol Suci dipindahkan ke Lapangan Pekambingan, lokasinya di Jl Diponegoro di depan Bali Mall Ramayana (yang waktu itu belum berdiri). Karena letaknya kurang strategis, suasana senggol Pekambingan relatif sepi. Pedagang tetap jualan sampai larut malam, tetapi pengunjung tak seramai Suci.

Tak lama kemudian, lokasi senggol Pekambingan pun digusur lagi karena tempat itu disulap menjadi pertokoan. Para pedagang ada yang pindah ke senggol Kereneng, ada pula yang dipindah ke tepi selatan kuburan Badung, dekat terminat Tegal. Setelah pindah berkali-kali, tamatlah riwayat senggol Suci.

Lokasi senggol Suci diubah menjadi pertokoan bertingkat dan di bawahnya untuk parkir. Seperti pertokoan lain, Suci Plaza pun tak berhasil membuat Denpasar mentereng. Banyak toko tidak laku, belum lagi kualitas bangunannya kurang begitu tinggi, kebocoran atau kemampatan dari air hujan dan kamar mandi tampak di sana-sini. Arena parkir bawah tanah semula tampak ideal, tapi perkembangan jumlah mobil yang begitu cepat, membuat kehadirannya tidak banyak memberikan solusi.

Belakangan di emper depan Suci Plaza muncul dagang makanan dan jamu. Kehadiran dagang makanan ini seolah merupakan reinkarnasi mini atau panggilan tanah Suci untuk menghidupkan pasar malam yang pernah jaya di sini. Dagang makanan ini menunjukkan bahwa kemampuan dan gaya hidup sebagian warga kota Denpasar masih dominan pada model senggol, tampak belum bisa digantikan sepenuhnya oleh style plaza atau mall. [+++]
posted by The Balebengong 1:18 PM   2 comments
 
2 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Thursday, June 28, 2007
Es Campur Bikin Kesandung

Oleh Luh De Suriyani

Es campur sederhana yang elegan. Daluman dari sari daun daluman, kelapa parut kasar, dan santan gula kental. Gurih dan bercita rasa tegas.

Kebanyakan es campur tak memiliki rasa yang dominan. Biasanya karena bahan-bahan yang dicampur terlalu banyak jadi terasa setengah-setengah. Nah, dimana kita cari es campur yang tidak setengah-setengah rasa itu?

Salah satu tujuan wisata kuliner yang tidak boleh dilewatkan adalah Pasar Badung. Lokasinya di sekitar Jalan Gajah Mada Denpasar. Pasar berlantai empat ini paling sibuk di Bali. Buka 24 jam, jadi bisa berwisata 24 jam pula. Tapi, untuk es campur yang kita ulas ini, kita mesti datang ke pasar pada pukul sembilan pagi hingga empat sore.

Kios penjualnya berada di lantai tiga pasar yang pintu masuknya bisa dari Jl Gajah Mada maupun Jl Pulau Sumatera ini. Karena pedagang dalam di pasar ini hanya boleh buka dari pagi sampai sore, maka kita mesti datang sesuai jam operasi pasar.

Es campur ini sudah hampir 20 tahun membuat antre pembelinya. Padahal dari bahan dan gaya penjualnya, tak ada yang istimewa. Istimewanya hanya terletak di cita rasa santan dan gulanya. Inilah jurus utama untuk membuat es campur uwenak tenan.. Santan dan gulanya sangat kental, tidak dicampur bahan tambahan. Kecuali untuk gula dengan pewarna makanan yang warnanya tak pernah berubah puluhan tahun. Warnanya pink muram alias merah muda karena gula pasirnya tak banyak dicampur air.

Ketika melihat dua bahan terakhir yang dicampurkan, santan dan gula pink muram itu, air liur selalu tertelan tak sengaja ke kerongkongan. Soal harga, standar. Satu gelas es campur, dijual Rp 2500 saat ini. Biasanya, harga akan merangkak naik Rp 500 tiap tahun, mengikuti inflasi.

Ratusan pembeli per hari membuat pedagangnya tak punya keinginan buka cabang. Yang sibuk hitung-hitungan keuntungan biasanya pembeli yang antre. Misalnya, saya. Ketika melihat puluhan orang antre, saya suka berpikir berapa keuntungan bersih yang didapat setiap hari.

Kadang-kadang, terbersit untuk buka kerja sama dagang. Dasar otak serakah, kerjanya mikirin keuntungan yang didapat orang lain. Hehe...

Minum es di Pasar Badung, awas jangan sampai kesandung. Sebab di Pasar Badung, di mana ribuan orang ada di sana tiap hari, kesandung ini rentan terjadi. Di pasar ini, jarak satu kios ke kios lain sempit sekali. Hanya cukup satu badan manusia untuk lewat. Ketika lagi antre atau menyeruduk pembeli lain melewati antrian, kaki-kaki pembeli suka kesandung kursi atau meja kayu yang ada di pinggir kios, termasuk menendang mereka yang antri.
Makanya, awas jangan sampai kesandung kalau minum es campur di Pasar Badung. Kalau kesandung, es bisa tumpah. Sudah bayar mahal, tidak bisa menikmati segarnya es, ketumpahan es pula. [+++]

posted by The Balebengong 1:28 PM   1 comments
 
1 Comments:
  • At April 9, 2009 at 9:18 PM, Blogger oom-bali said…

    ((( Cara Sederhana meMIKAT Pelanggan & Tamu Anda )))

    Unik..
    Langka..
    efek Fantastik..
    yang tidak dimiliki oleh Piring Biasa

    http://piring-energi.blogspot.com

     
Post a Comment
<< HOME

Tuesday, June 26, 2007
Merayakan Galungan dengan Jotan
Oleh Anton Muhajir
Saya baru selesai sholat maghrib ketika pintu gerbang rumah seperti digeser orang. Kamar tempat saya sholat sekitar 10 meter dari pintu dari besi itu. Jadi saya bisa mendengar jelas ketika ada orang masuk rumah.

Saya keluar kamar. Dadong Devita mengetuk pintu. Dadong adalah sebutan untuk nenek di Bali. Devita mengacu pada nama cucunya.

Saya membuka pintu. Dadong masuk membawa sekeranjang buah dan kue. Ada apel, pir, pisang, jeruk, dan rambutan. Kuenya ada begina semacam kerupuk, jaja uli, tape ketan, dan krupuk melinjo.

Sekitar 15 menit sebelumnya, Gede, Bu Wayan, dan Made membawa kue dan buah yang sama. Buah dan kue di meja makan kami semakin penuh ketika Bu Mega juga membawa roti ke rumah malam itu.

Rumah kami di gang kecil pinggiran Denpasar utara. Sepanjang sekitar 50 meter gang itu tinggal aneka rupa keluarga dan berbeda agama.

Di ujung gang, persis di pinggir sungai, Bu Jeani dan Pak Anton tinggal bersama tiga anak mereka Jeani, William, dan Andrew. Pasangan ini beda agama. Bu Jeani muslim asli Padang. Pak Anton Katolik asli Timor Timur, yang kemudian jadi Timor Leste, dan kini warga Denpasar.

Keluarga saya sendiri muslim. Kami sekuler. Tidak ada tanda apa pun yang identik dengan agama apa pun di rumah kami. Bagi kami agama biarlah jadi urusan kami. Bukan untuk diperlihatkan pada orang lain. Istri saya orang Bali dan jadi muallaf ketika menikah dengan saya. Cerita ini sama dengan tetangga kami, Pak Sutir dan Bu Risma, yang kini punya dua anak.

Selebihnya, selain tiga keluarga itu, delapan keluarga lain beragama Hindu. Dan, besok tetangga-tetangga kami ini merayakan Galungan. Tapi, meski tidak beragama Hindu, kami ikut merayakan. Ya, lewat buah dan kue yang dibawa ke rumah kami petang tadi.

Tradisi membawa kue dan buah menjelang hari raya itu disebut ngejot. Tidak hanya menjelang Galungan tapi juga pada upacara lain seperti pernikahan, otonan (peringatan hari lahir), dan seterusnya. Ngejot sebenarnya biasa dilakukan pada tiap tetangga tanpa melihat agama atau suku apa pun. Namun karena tetangga yang Hindu juga merayakan, dan berarti punya buah dan kue yang sama, jadilah ngejot ini lebih banyak untuk yang beragama lain.

Tapi ini tidak mutlak. Kadang-kadang yang sama-sama merayakan Galungan pun berbagi kue atau buah terutama kue yang tidak mereka punyai. Misalnya memberi kue bolu pada tetangga yang tidak punya.

Ngejot, bagi saya, adalah wujud dari toleransi antar-tetangga. Bhinneka Tunggal Ika, kata Mpu Prapanca. Ini kalau dilihat dari perspektif agama. Tapi ngejot bisa juga adalah praktik dari sosialisme. Bukan sosialisme ideologis yang agak berat ala Hugo Chavez, Eva Morales, dan seterusnya, tapi cukup sosialisme sebagai praktik bertetangga, saling membagi apa yang kami punya.

Karena itu ngejot tidak melulu milik orang Hindu. Ketika merayakan lebaran Oktober tahun lalu, kami pun ngejot dengan membagi kue lebaran. Tidak hanya pada tetangga tapi juga pada keluarga di Padangsambian, Oongan, Jl Kenyeri, dan tentu saja mertua di Jl Banteng.

Ketika Natal pun kami mendapat jotan berupa nasi kotak dari Pak Anton, tetangga kami yang juga pegawai negeri tersebut.

Bagi sebagian orang mungkin ini terlalu romantik. Memang ada ketegangan-ketegangan hubungan antar warga akibat perbedaan itu. Namun ngejot bisa jadi salah satu upaya untuk mengingatkan warga bahwa kami bisa saling menghargai dan mengormati di antara perbedaan itu. Ngejot juga perlu terus dibiasakan karena ini soal perut juga. Kalau sudah tentang makanan kan paling gampang untuk mengajak orang.
Selain itu ngejot juga perlu diajarkan pada anak-anak. Biar mereka tidak salah paham lalu bilang, “Awas ada suster ngejot..” Eh, itu suster ngesot ya.. [+++]
-artikel ini juga dimuat di http://rumahtulisan.blogspot.com/-
posted by The Balebengong 9:11 PM   1 comments
 
1 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Monday, June 25, 2007
Di Mana Branding Bali Berada?

Oleh Arief Budiman

Ketika membayangkan Bali memiliki sebuah branding, saya langsung membayangkan yang harus dilakukan Bali dalam brandingnya menggunakan benchmark “country branding”, bukan city branding atau island branding. Visi branding Bali harus sama dengan cara sebuah negara melakukan destination branding seperti Malaysia, Singapura, India dan negara lain. Alasan mendasar bagi saya memikirkan hal tersebut adalah peluang Bali yang sangat memungkinkan melakukan itu. Reputasi Bali, potensi yang dimiliki, positioning Bali di masa datang, juga sekaligus menjadi semacam inisiatif atas belum terselenggaranya branding Indonesia yang komprehensif. Namun untuk menentukan itu pun sebuah proses studi dan riset harus dilalui dulu.

Pengertian destination branding atau place branding seyogianya dipahami juga oleh kita secara utuh karena ia adalah sebuah strategi yang akan menghabiskan biaya dan waktu. Jika kurang tepat dan cermat mengeksekusinya maka kita akan kehilangan biaya dan waktu dengan sia-sia. Pijakan branding sebuah tempat atau destination branding juga dilakukan tidak hanya untuk atau melalui pariwisata saja. Dalam strategi destination branding di banyak tempat setidaknya ada enam elemen penting pembentuk destination branding atau prasyarat terciptanya destinasi yang baik. Pariwisata adalah salah satu komponennya selain people, governance, export, investment/immigration, culture and heritage.

Sebuah konsep destination branding, didasari oleh passion dan identitas menarik yang saling berhubungan dengan berbagai hal untuk memudahkan orang memiliki asosiasi dengan tempat tersebut. Destination branding harus memiliki kekuatan untuk mengubah presepsi dan cara pandang seseorang terhadap suatu tempat, termasuk melihat perbedaan sebuah tempat dengan tempat lainnya untuk dipilih sebagai tujuan.

Belum lama rasanya Bali memiliki branding dengan tagline “Bali is My Life” yang belum teruji kesuksesannya dan belum terasa benar dampak kampanye branding tersebut. Namun ketika membuka Pesta Kesenian Bali ke-29 pada 16 Juni lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono RI telah melaunching branding Bali yang baru, “Bali. Santhi Santhi Santhiâ”. Pijakan utama branding tersebut salah satunya adalah keinginan responden masyarakat Bali asli sejumlah 900 orang yang prosentase terbesarnya mengharapkan bahwa penggambaran Bali yang paling baik adalah paradise dengan pendekatan spiritual yang divisualkan dengan pura.

Branding Bali yang baru divisualisasikan dengan gambar segi tiga bertuliskan Bali Shanti Shanti Shanti yang merupakan semangat dari Tri Murti dan Tri Hitakarana. Shanti yang berarti damai tertulis tiga kali berarti mengalir semangat kedamaian dan keharmonisan. Tapi jangan mencoba mengamati tulisan BALI yang digambarkan di sana mengesankan tulisan Arab karena barangkali ada alasan lain yang melatarinya.

Tidak diragukan lagi bahwa Bali dalam sejarahnya memiliki karakteristik dan keunikan yang tiada duanya kombinasi antara alam, seni, budaya dan spiritualitas. Hingga muncul tagline “Island of the Gods” yang sangat legendaris. Namun pertanyaannya, haruskah gagasan spiritual yang disampaikan responden branding Bali ini dieksekusi secara vulgar menjadi ikon Santhi Santhi Santhi? Menurut saya perlu extra effort bagi pihak eksternal memahami dan menangkap makna simbolik itu sebagai komunikasi pencitraan Bali sebagaimana sebuah simbol branding memiliki fungsi awareness.

Pentingnya branding yang dilambangkan dengan logo atau simbol adalah memvisualkan gagasan dan cita-cita menjadi sebuah ikon yang mampu “mengimajinasikan” atau “menggambarkan” cita-cita tersebut. Simbol atau ikon ini akan berfungsi sebagai “awareness campaign” yang memiliki asosiasi positip, imajinatif dan mudah dipahami. Sebagai contoh The Incredible India campaign yang dimulai December 2002 difokuskan pada gagasan yoga, Ayurveda dan konsep spiritual lain yang asli dari India.

Seperti disampaikan oleh Lavanya Anirudh, account director Ogilvy and Mather India pada Dow Jones & Company, “Yoga, we own it but have never flaunted it, Bali, and also other Asian country, are flaunting yoga and meditation with their spas. But we have had it for centuries and centuries. And the real Ayurveda is in India. We decided to showcase all of that and we layered the entire campaign with spirituality.”

Kata “Incredible” dipakai untuk mewakili spiritualitas dimaksud karena memiliki sound atau makna luas yang dipahami banyak pihak eksternal sebagai “sesuatu yang luar biasa”. Ketika dia bertanya pada masyarakat apa yang mereka pikirkan dengan kampanye “Incredible India”, dia mengatakan, “I just keep hearing that incredible is absolutely the apt word to describe India. The country isn’t perfect; everything isn’t laid out for you on a platter. Yes, we have cows on the narrow streets, but this is mixed with some amazing stuff. A big reason is that India Ministry of Tourism, with its subtle and charming Incredible India campaign, is pushing the great Indian story effectively.

Setelah India secara konsisten membawakan kampanye Incredible India tersebut selama hampir lima tahun resultnya sangat menggembirakan bagi perekonomian dan pariwisata India, termasuk juga komentar pakar branding dunia. I’m surprised by India’s exclusion from the rising star category as perceptions are changing with the country moving up from a spiritual order to a new energy tech-oriented sphere,” kata Santosh Desai, seorang brand analyst di The Future Group. Dalam 10 Top Country Brand Ranking 2006 oleh Future Brand, India menempati urutan ke-10 dan merupakan negara Asia satu-satunya yang masuk 10 terbaik.

Success story selalu menarik buat saya. Ia menjadi semacam cermin dan motivasi untuk menuju yang lebih baik. Maka ketika kita mengetahui begitu lazimnya kini destination branding dipakai sebagai strategi destination management, telah banyak success story yang dapat kita cermati sebagai benchmark. Keuntungan lain jika kita sukses menerapkan model destination branding adalah kesempatan mempresentasikan konsepnya di berbagai negara pada forum-forum mengenai destination branding ataupun sustainable tourism sebagai model yang sukses. Seperti yang dilakukan World Tourism Organization dengan mengundang Malaysia untuk mempresentasikan Malaysia, Truly Asia yang sukses itu di berbagai negara dan hal itu menjadi promosi sebuah tempat yang elegan.

Menjembatani identitas Bali yang telah sangat dikenal (alam, seni, budaya dan spiritualitas) dengan kekinian yang merupakan dinamika waktu menjadi sebuah visi dalam destination branding Bali memang bukan perkara mudah. Diperlukan studi mendalam dan pemikiran lintas sektoral dan perencanaan kampanye yang memiliki orientasi internal (untuk masyarakat di Bali sendiri) juga eksternal (untuk masyarakat luar) secara bersama serta proyeksi kedepan yang berkesinambungan. Sehingga terbentuk sebuah kesadaran bahwa peran setiap orang menjadi penting dalam kampanye branding Bali. Harus diingat pula arti “kampanye” itu sendiri adalah untuk mendapat simpati dan “to win the heart” of people. Siapapun dia.

Tulisan ini ada karena sebuah proses memahami destination branding semenjak empat tahun lalu yang sangat menarik dan ternyata terus berkembang secara dinamis. Dari hasil pengamatan jelas bahwa destination branding dari statusnya sebagai sebuah pilihan menjadi sebuah keharusan dikarenakan manfaatnya. Jika kita masih berpikir sulit dan mahal tentang destination branding diperbandingkan dengan dampaknya yang luar biasa seharusnya kita melakukan siasat dengan bersinergi. Bahwa destination branding harus dibaca bukan hanya tugas pemerintah saja namun private sector dan seluruh lapisan masyarakat sehingga keterlibatannya dalam membentuk dan menjadi bagian branding campaign sangat penting. Ketika Jogja pertamakali meluncurkan ikon Jogja Never Ending Asia peran private sector melalui komunitas masyarkata non-Jogja yang disebut alumni Jogja yaitu mereka yang pernah bersekolah dan menjadi pejabat di Jogja sangat penting dengan turut memberikan funding bagi terciptanya destination branding Jogja.

Bagi saya, implementasi branding Bali yang ideal tidak harus tergesa, mungkin dua tahun lagi, mungkin lima tahun lagi, tetapi dipersiapkan secara matang dan terstruktur sehingga lebih mantap dan efektif setidaknya diproyeksikan untuk sepuluh tahun kedepan. [+++]

Arief Budiman, Bekerja di Matamera Communication, Ketua Perhimpunan Perusahaan Periklanan Indonesia Cabang Bali, dan aktif di berbagai kegiatan desain di Bali.

Tulisan ini juga termuat di http://ayipbali.com

posted by The Balebengong 1:33 PM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Pecandu Tuntut Vonis Rehabilitasi

-dari press release-

Memperingati hari anti narkoba yang jatuh pada 26 Juni 2007, ratusan pecandu di Bali melakukan aksi damai, Minggu (24/06) sore di Lapangan Renon Denpasar. Dalam tuntutuannya, pecandu maupun mantan pecandu yang tergabung Ikatan Korban Napza (IKON) Bali itu meminta agar pemerintah segera menerapkan vonis rehabilitasi pada pecandu narkoba.

Aksi dimulai sejak pukul 15.00 wita. Ratusan pecandu dan mantan pecandu itu membentangkan sekitar 150 surat tuntutan agar vonis rehablitasi segera diterapkan. Menurut Koordinator Aksi IGN Wahyunda, surat tersebut dikumpulkan dari pecandu di Denpasar maupun Kuta. “Ini untuk menunjukkan bahwa pecandu narkoba banyak yang meningingkan agar vonis rehabilitasi bisa segera diterapkan,” kata Koordinator IKON Bali yang akrab dipanggil Wahyu tersebut.

Seruan dari pecandu itu beberapa di antaranya bertuliskan “Berikan Kami Tempat Perawatan, Berantas Pengedarnya bukan Korban Narkobanya, Dengarkan Suara Kami Bapak-bapak yang Terhormat, dan masih banyak seruan lain yang mengajak maupun mengimbau masyarakat di lapangan tersebut.

Surat dari pecandu itu dibentangkan di tali rafia sepanjang sekitar 50 meter di pinggir lapangan Renon yang dikunjungi ribuan warga Denpasar sore itu. Tidak hanya berisi tuntutan vonis rehabilitasi, surat yang dibuat dalam aksi Pecandu Berseru itu juga menyampaikan tuntutan agar pecandu juga dilindungi hak asasi manusia (HAM)-nya. “Karena pecandu hanyalah korban dari peredaran gelap narkoba,” tambah Wahyu, yang juga mantan pecandu tersebut.

Aksi damai hingga pukul 17.00 Wita itu, selain memamerkan ratusan seruan pecandu juga diisi aksi teatrikal di mana digambarkan seorang pecandu masuk penjara lalu diberi narkoba ketika di dalam. Aksi teatrikal itu dilakukan untuk menyindir bahwa penjara bukanlah solusi untuk menangani penyalahgunaan narkoba karena di penjara, pecandu malah lebih mudah mendapatkan narkoba.

Seperti aksi-aksi IKON sebelumnya, aksi damai sore itu juga diisi kerja bakti oleh ratusan anggota dan simpatisan IKON Bali. “Kerja bakti membersihkan sampah selalu kita lakukan sebagai simbol bahwa pecandu pun bisa membersihkan sampah,” ujar Wahyu.

“Kami ingin membuktikan bahwa pecandu maupun mantan pecandu juga peduli persoalan masyarakat. Sebab kami juga bagian dari masyarakat itu sendiri,” kata Wahyu. Menurut Wahyu sebagian besar masyarakat sudah kadung memberikan cap buruk pada pecandu sebagai pelaku tindak kriminal. Stigma itu pun masih diberikan pada mantan pecandu yang sudah tidak memakai narkoba lagi. Pecandu maupun mantan pecandu sering dianggap sebagai “sampah masyarakat”. “Padahal kami ini juga korban dari peredaran gelap narkoba,” katanya.

IKON Bali adalah kelompok yang memperjuangkan perlindungan HAM bagi pecandu maupun mantan pecandu narkoba. Kelompok ini didirikan mantan pecandu maupun mereka yang masih aktif dan sedang berusaha pulih dari kecanduan pada 8 September 2006 di Denpasar, Bali. [+++]



posted by The Balebengong 12:45 PM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Saturday, June 23, 2007
Memilih Tempat Makan di Denpasar

Sebagai kota urban, Denpasar itu jadi tempat aneka rupa makanan dijualbelikan. Ada makanan yang bener-bener khas Denpasar, tapi lebih banyak lagi yang khas daerah lain. Ada misalnya nasi padang –ini sih pasti di tiap jalan-, soto karangasem, bakso solo, sari laut lamongan, babi guling gianyar, dan seterusnya.

Karena itu tidak usah risau kalau urusan makan di Denpasar. Tinggal sesuaikan dengan selera, kantong, dan tingkat keimanan Anda. Soal selera dan kantong sih jelas, tapi kalau bingung soal terakhir itu, tunggu nanti di bagian belakang.

Pertama soal selera. Ini sih pasti. Kalau seleranya tidak jelas alias suka makan campur-campur, biasanya sih tempat makannya di warung nasi pecel madiun atau warung jawa. Banyak pilihan menu yang diperlihatkan di rak kaca tembus pandang. Ada kare ayam, pecel, ikan laut, sup, sayur bening, dan seterusnya. Anda tinggal menyesuaikan dengan selera.

Mencari makanan campur seperti ini tidak susah. Di tiap jalan sekunder Denpasar hampir selalu ada. Paling gampang ya cari di sekitar pasar. Pasti ada. Kalau tidak ada juga ya ganti saja dengan makanan lain yang ada di situ. :)) Warung seperti ini biasanya buka dari pagi sampai petang. Jarang yang buka malam.

Nah kalau seleranya makanan yang sudah pasti, ini yang agak susah. Terlalu banyak kategori. Makanan yang sudah pasti ini katakanlah bakso, soto, steak, ikan laut, dan seterusnya. Artinya dari awal tuh Anda sudah tahu makanan apa yang Anda cari. Kalau ini ceritanya, ya harus cari tempat makan yang identik. Misalnya soto karangasem yang rata-rata buka dari pagi sampai siang saja karena sudah habis.

Lebih lengkap tentang masing-masing warung nanti di bagian lain. Ini hanya gambaran awal. Intinya kalau mau menikmati satu jenis makanan saja ya harus ke tempat yang memang hanya menjual makanan itu. Jadi bukan cari ikan laut tapi ke bakso solo.

Kedua soal kantong. Kalau kantongnya tipis karena isinya ratusan ribu semua, berarti Anda kaya. Untuk orang banyak duit begini tempat makannya ada di Renon dan Jl Teuku Umar. Di Renon banyak banget pilihan. Tapi antar satu tempat dengan tempat lain agak terpisah. Adanya pun di beberapa areal. Misalnya di Jl Merdeka ada Ayam Bakar Wong Solo. Ini milik tokoh poligami Indonesia. Jadi kalau Anda tidak suka poligami ya bisa saja Anda pilih warung lain. Masalahnya banyak juga yang tidak suka poligami tapi lebih suka makanan enak. Jadi tidak peduli lagi soal poligami.

Di Jl Merdeka ini ada pula ayam betutu gilimanuk. Ini menu yang wajib dicoba jika Anda penggemar makanan pedas.

Btw, kok sudah mulai nglantur ke masing-masing tempat makan ya. Balik kanan dulu deh ke areal makan itu tadi. Di Renon selain di Jl Merdeka juga ada di Jl Cok Agung Tresna. Pada satu jalur ini ada Warung Bendega dengan makanan khas ikan laut. Ada pula Ikan Bakar Cianjur, dst. Di bagian lain Renon, di dekat Monumen Bajra Sandhi ada pula bubur ayam Pak Lik dan warung lain di deretan sama.

Oke, itu untuk Anda yang berkantong tipis karena duitnya ratusan ribu semua. Untuk Anda yang berkantong tebal karena dompetnya hanya berisi tagihan hutang, ada beberapa tempat. Misalnya warung nasi jenggo yang ada di di semua jalan di Denpasar. Harganya hanya Rp 1500 per bungkus. Tapi nasi jenggo adanya kalau malam saja.

Soal selera dan kantong sudah, sekarang soal keimanan. Ini sih untuk Anda yang tidak boleh makan babi. Tidak usah risau. Banyak kok makanan bertanda halal. Jadi kalau Anda orang yang beriman kuat ya silakan pilih makanan bertanda halal. Tapi bukan berarti yang tidak bertanda halal itu kemudian tidak boleh dinikmati. Kalau enak kan boleh saja. Meninggalkan makanan enak kan juga dosa.

Untuk tahu makanan enak atau tidak, ada salah satu petunjuk. Silakan lihat apakah ada tukang parkir di depan warung itu. Kalau ada tukang parkir, berarti banyak orang makan di warung itu. Kalau banyak orang makan di situ, berarti makanan di warung itu enak. Jadi, selamat mencari tukang parkir, eh, tempat makan enak di Denpasar. [+++]
posted by The Balebengong 3:53 PM   1 comments
 
1 Comments:
  • At April 9, 2009 at 9:04 PM, Blogger oom-bali said…

    ((( Cara Sederhana meMIKAT Pelanggan & Tamu Anda )))

    Unik..
    Langka..
    efek Fantastik..
    yang tidak dimiliki oleh Piring Biasa

    http://piring-energi.blogspot.com

     
Post a Comment
<< HOME

Friday, June 22, 2007
Kuliner

Rubrik ini memuat tulisan tentang tempat makan, tradisi makan, resep masakan, dan semua hal terkait urusan makan memakan, tentu saja, di Denpasar. Tulisan di rubrik ini dijamin bukan iklan meski berbau promosi. :)) Sebab kami tidak makan gratis. Kami tetep membayar layaknya konsumen lain, terutama kalau tulisannya tentang tempat makan.

Karena bayar sendiri itu, maka untuk sementara tulisan kuliner ini lebih banyak tentang tempat makan yang harganya terjangkau. Soknya sih sebagai dukungan bagi usaha kecil menengah. Tapi fakta sebenarnya karena duitnya cuma bisa buat makan di kaki lima.

Jika Anda punya tradisi lebih unik, resep lebih enak, tempat makan lebih asik, dan seterusnya, silakan dibagi di rubrik ini. Dengan senang hati kami menerimanya untuk tempat berbagi. Sayang kan makanan enak dinikmati sendiri.

Rubrik ini diasuh Luh De Suriyani, anak juragan soto sapi karangasem, ibu satu anak, anggota fans gelap Bondan Winarno, tukang masak di rumah, dan penikmat semua makanan. Tapi, kalau Anda punya kabar kuliner lebih menarik, atau lebih jelek juga tidak apa-apa, silakan kirim ke lodegen@yahoo.com dan slokainstitute@yahoo.com. [penunggu balebengong]

posted by The Balebengong 3:44 PM   1 comments
 
1 Comments:
  • At April 9, 2009 at 9:05 PM, Blogger oom-bali said…

    ((( Cara Sederhana meMIKAT Pelanggan & Tamu Anda )))

    Unik..
    Langka..
    efek Fantastik..
    yang tidak dimiliki oleh Piring Biasa

    http://piring-energi.blogspot.com

     
Post a Comment
<< HOME

Thursday, June 21, 2007
Awas Tertipu Warung Nusa Lembongan

Oleh Anton Muhajir

Ketika keluar dari kantor di daerah Yangbatu, Denpasar, saya sebenarnya berpikir untuk makan soto ayam di Jl Teuku Umar. Lama tidak makan di sana. Mendung dan sesekali gerimis sejak pagi membuat saya ingin menikmati makan siang dengan kuah hangat. Hmm, sepertinya pas untuk mengusir dingin.

Tapi begitu keluar dari Jl Letda Kajeng masuk Jl Cok Agung Tresna, saya mulai merasa terlalu jauh makan di Jl Teuku Umar. Otak saya bergerak. “Makan apa ya yang kira-kira berkuah hangat, ada di daerah Renon, dan bisa dinikmati dengan cepat?”

Aha, saya ingat Warung Nusa Lembongan di jalan searah yang saya lewati. Persisnya di depan Kantor Bagain Registrasi dan Identifikasi Polda Bali di Renon. Dari arah yang saya lewati, warung ini ada di kiri jalan.

Pengalaman pertama ketika makan di warung ini saya harus menunggu sekitar 30 menit. Karena itu saya sudah bersiap-siap untuk menunggu ketika sekitar pukul 12.15 Wita sampai di warung tersebut. Maklum, jam makan siang. Saking banyaknya pembeli, maka waktu itu saya harus mengantri.

Tapi ini tidak. Ketika saya baru saja duduk di kursi, datang satu pelayan membawa ikan laut goreng dan sup kepala ikan. Wah, rupanya pengelola warung sudah belajar. Pembeli tidak perlu menunggu lama, termasuk saya.

Warung Nusa Lembongan di Renon ini memang hanya menjual satu menu. Makanya meski saya belum pesan, makanan langsung datang.

Menu di depan saya: sepiring nasi putih, sepotong ikan laut goreng kering, semangkuk sup kepala ikan. Ikan laut itu –aduh apa ya namanya- digoreng sampai berwarna cokelat saking keringnya dan ditambah sambal berwarna sama. Sedangkan kuah itu selain berisi kepala ikan laut –sepertinya sih ikan jangki tapi lebih besar- juga berisi beberapa potong timun. Saya tidak terlalu suka sayur. Jadi timun disingkirkan saja. Tapi kuah itu, ketika saya sendok lalu masuk mulut, sruuuup, aduh segernya..

Ketika pelayan saya tanya apa nama ikannya, dia hanya menjawab, “Pokoknya ikan itu beli di Benoa.” Aduh, ternyata dia juga tidak tahu. But, who care? Rasa lebih penting dibanding nama ikan itu. Dengan gorengan kering, ikan itu terasa kriuk-kriuk gurih di lidah. Masalahnya ketika saya colekkan ke sambal, kok rasanya jadi terasa agak manis. Saya penikmat pedas. Jadi ketika sambal itu terasa agak manis, saya kecewa.

Tapi, sudahlah, mari menikmati kuah segar dengan kepala ikan di dalamnya itu bersama nasi dan ikan goreng tersebut. Ketika nasi sudah habis, ikan goreng dan sup itu masih tersisa. Mau menambah nasi, takut terlalu banyak. Jadi ya ikan goreng itu saja dicolek-colek ke sambel.

Sambil kriuk-kriuk menikmati ikan goreng, saya lihat sekeliling. Ada tujuh meja besar di warung itu. Saya hitung ada rata-rata delapan kursi di tiap meja. Berarti kalau penuh paling tidak ada 56 orang pada saat makan. Paling lama makan ya 30 menit. Dalam satu jam berarti ada 112 orang. Kalau warung itu buka, misalnya, lima jam tiap hari berarti ada 560 orang. Wah, banyak juga ya..

Kalau satu orang menghabiskan minimal Rp 10 ribu berarti..., aduh!!, hitungan saya terhenti. Saya kaget. Saya tertipu. Sambal itu ternyata pedas di akhir. Pedasnya sampai terasa panas di ujung lidah. Padahal ketika pertama makan, sambal itu terasa manis. Sambal berwarna cokelat itu campur aduk antara manis dan pedas. Kombinasi unik.

Ini peringatan kalau makan di sini: jangan remehkan sambal yang terasa manis di awal. Pedasnya terasa di akhir.

Peringatan lain, seperti umumnya, makanan ikan laut, siapkan makanan penutup setelah menyantap menu di sini. Setelah makan ikan laut, biasanya di tenggorokan atau rongga mulut bagian atas agak terasa berlendir. Saya sih biasa mengalami seperti itu. Tidak tahu orang lain. Ya sebagai jaga-jaga saja, siapa tahu Anda mengalami hal sama. Siapkan makanan penutup bisa krupuk bisa juga merokok. Ini akan membuat mulut lebih enak setelah menyantap menu di sini.

Selain itu, siapkan uang pas. Untuk satu porsi makanan tadi ditambah teh hangat, saya harus bayar Rp 12.000. Masalahnya duit saya satu lembar Rp 100 ribu. Karena tidak ada kembalian, dengan PD-nya, kasir yang sepertinya pemilik warung itu, bilang, “Nah, tidak usah bayar tidak apa-apa.”

Kalau muka badak sih ya tinggal pergi saja. Kapan lagi dapat makan enak gratisan. Tapi kalau sadar sebagai manusia, ya silakan tukarkan uang Anda lalu kembali bayar. [+++]
posted by The Balebengong 3:57 PM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Wednesday, June 20, 2007
Ayam Dibui Menyiksa Polisi

-ini kabar setahun lewat. tapi tidak ada salahnya diposting. utk hiburan biar tidak terlalu tegang-


Kamis, 2 Februari 2006

Ada tiga tahanan di sel dari besi tersebut. Satunya sakit dan hanya duduk di lantai sel. Dua tahanan terlihat sehat. Tiap kali ada orang mendekat, mereka melotot. Keduanya mundur menjauhi jeruji besi. Mata mereka mengawasi curiga. Tapi mereka tak berani bertanya atau bahkan melawan orang yang mengganggu mereka.

Ketika tak ada orang di dekat bui itu, dua tahanan yang sehat kembali mendekati dinding jeruji. Mereka makan rumput di lantai sel. Selesai makan, dengan cueknya mereka buang kotoran seenaknya di dalam sel. Tanpa toilet. Juga tak dibersihkan.

Tak ada yang berani menegur atau memarahi tahanan itu. Kalau ada yang melakukannya bisa jadi malah dilihat banyak orang karena dipikir tak waras. Sebab tahanan yang dibui itu memang bukan manusia, tapi ayam.

Ayam dibui itu hanya ada di Polsek Denpasar Barat (Denbar), Bali. Ide kreatif ini muncul karena adu ayam alias tajen merupakan salah satu tindak kriminal paling banyak di Bali selain narkoba. Demikian pula di Polsek Denbar. Tajen dengan taruhan uang termasuk kategori judi. Bebotoh atau orang yang ikut bertaruh di tajen biasa ditemukan di banyak tempat. Namun sejak Made Mangku Pastika, yang putra Bali, jadi Kapolda pada 2003, tajen mulai ditertibkan.

Tajen yang biasa diadakan di sembarang tempat pun hanya diperbolehkan di kawasan tertentu. Sejak Jenderal Sutanto, operasi penertiban tajen makin keras. Bebotoh pun mulai mencari tempat-tempat tersembunyi. Namun operasi polisi juga makin gencar. Polisi dan bebotoh sering kucing-kucingan.

Bebotoh tak kalah pintar. Tak jauh dari tempat tajen digelar, biasa ada informan berjaga. Ketika ada polisi datang, penjaga tinggal memberi tanda. Dan, para bebotoh pun lari agar tak ditangkap polisi. Di tempat tajen hanya tertinggal ayam, kurungan, atau kisa. Oleh polisi, barang bukti berupa ayam itu dimasukkan di kisa, tas dari anyaman daun kelapa kering yang hanya muat satu ekor ayam. Namun kalau tetap dibiarkan dalam kisa, ayam-ayam itu tak bisa bergerak. Mereka keburu mati sebelum dijadikan barang bukti di depan hakim atau jaksa. Sudah lama hal ini jadi masalah.

Maka, eureka, muncul ide membuat sel khusus ayam tersebut oleh Polsek Denbar. Sel khusus itu berada di belakang ruangan Kanit Reskrim Polsek Denbar Iptu Yusantyo Sandy. Sejak Jumat pekan lalu, sel langsung penuh. Kebetulan anggota Polsek Denbar baru saja menggerebek tajen di daerah Jl Marlboro, Denpasar Barat. Barang bukti jago 15 ekor itu pun dimasukkan sel khusus berukuran sekitar 2m x 1m x 1m itu. Sementara bebotohnya tak satu pun bisa ditangkap.

Menurut Yusantyo sel khusus itu dibuat karena selama ini ayam barang bukti tajen sering tak terurus. Akibatnya, sebelum kasus dilimpahkan ayam itu sudah mati. Padahal agar bisa dilimpahkan ke jaksa, pemberkasan kasus harus lengkap termasuk tersangka, saksi, dan barang bukti ayam ataupun kisa. “Kalau tak lengkap ya tak bisa diproses,” katanya. Maka mau tak mau ayam itu pun dimasukkan sel khusus.

Namun menyimpan ayam sebagai barang bukti tentu jadi tugas tersendiri bagi polisi. Sel yang disediakan terlalu kecil untuk seluruh barang bukti sebanyak 15 ekor itu. Jadinya sesama tahanan pun berantem, bahkan sampai mati. Selain itu juga ayam itu harus dirawat meski tak ada yang bertugas khusus untuk itu. Ya, memberi makan atau minum paling tidak. “Anggota yang suka ayam biasanya bawa jagung untuk makan mereka,” ujar Yusantyo.

Kalau hanya memberi makan sih tak masalah. Persoalannya, tak ada anggota yang mau membersihkan kandang. Padahal tiap hari ayam itu pasti buang kotoran. “Jadinya ya bau,” aku Yusantyo. Tak heran, ayam itu pun sakit-sakitan. Selain karena luka bekas berantem dengan sesama jago, juga karena kondisi sel yang tak higienis. Jadilah, bukti 15 ekor itu pun tinggal tiga ekor. Artinya, kasus tak bisa dilimpahkan ke jaksa. Kalau sudah begini, jalan akhir yang biasa dilakukan adalah keluarnya surat tugas pemusnahan barang bukti.

Kalau pemusnahan barang bukti narkoba biasanya dibakar begitu saja. Tapi ayam masa begitu? Tentu akan lebih baik kalau ayam itu disembelih dulu baru dibakar dan diberi bumbu. Ditanya tentang hal ini, Yusantyo hanya diam tak menolak atau mengiyakan. [+++]

posted by The Balebengong 10:09 AM   1 comments
 
1 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Tuesday, June 19, 2007
Buku Soal Pariwisata Bali dan Terorisme


Setelah 15 Tahun, Terbit di London

SEBUAH buku tentang pariwisata Bali baru saja terbit di London. Buku berjudul "Tourism, Development and Terrorism in Bali" ditulis bersama oleh Prof Michael Hitchcock dari London Metropolitan University dan Dr. I Nyoman Darma Putra dari Fakultas Sastra Unud. Penerbit Ashgate mengklasifikasikan buku ini dalam seri terbitannya "voices in development management".

-------------

Fokus buku ini adalah pengalaman Bali dalam mengelola krisis kepariwisataan (tourism crisis management) dalam 10 tahun terakhir. Dalam kajiannya, kedua penulis menggarisbawahi ketahanan budaya masyarakat Bali dalam menghadapi berbagai tekanan arus globalisasi yang masuk lewat sektor pariwisata dan terorisme global.

Uraian dimulai dengan dampak dari krisis moneter Asia, krisis sosial politik yang menimbulkan berbagai kerusuhan sosial, sampai dengan krisis akibat serangan terorisme 2002 dan 2005 di Kuta dan Jimbaran. "Kami juga membahas wacana perdebatan penolakan nominasi Pura Besakih sebagai warisan budaya dunia," ujar Darma kepada Bali Post baru-baru ini.

Ahli pariwisata Richard Butler dan Adrian Vickers memberikan komentar dalam buku ini. Menurut Butler, buku ini penting karena secara menarik membahas hubungan kebertahanan budaya Bali dengan globalisasi lewat pariwisata. Sementara Adrian Vickers menulis bahwa buku ini merupakan kajian komprehensif tentang Bali sejak 15 tahun terakhir, dan yang pertama pasca-bom Bali.

Buku ini ditujukan bagi kalangan mahasiswa, akademik, pengusaha, dan pengambil keputusan pembangunan pariwisata. Isinya diharapkan dapat memperkenalkan kepada dunia luas pengalaman Bali dalam mengembangkan pariwisata, khususnya dalam mengelola krisis kepariwisataan, di tengah-tengah dampak positif dan negatif dari globalisasi.

Jarang Ditulis
Topik pariwisata Bali banyak dibahas dalam berbagai seminar dan dialog bisnis, namun penulisan buku yang lebih menyeluruh jarang terjadi. Buku serius dan mendalam tentang pariwisata Bali, menurut Darma, terbit tahun 1992 (1996) karya Michel Picard dari Paris, berjudul "Bali, Cultural Tourism and Touristic Culture". "Setelah lima belas tahun, barulah ada buku tentang pariwisata Bali terbit," jelas Darma yang kini tengah menjadi peneliti tamu di School of Languages and Comparative Cultural Studies, University of Queensland, Australia.

Tampil merah mencolok, kulit buku ini dihiasi foto dari kompleks Pura Besakih dan monumen bom Bali di London. Monumen London diresmikan oleh Pangeran Charles pada Oktober 2006. Ilustrasi kulit buku mencerminkan bahwa penulis buku ini berasal dari Bali dan London.

Gagasan awal menulis buku ini sudah disepakati sejak 2003 ketika Darma dan Michael melakukan riset bersama di Bali. Saat itu, Michael juga sempat mengikuti sidang-sidang kasus bom Bali di Nari Graha. Kegiatan penulisan baru dimulai 2004, ketika Darma diundang ke London sebagai peneliti atas biaya Sutasoma Trust hasil perjuangan Michael dan Prof IB Adnyana Manuaba lewat program kerja sama universitas.

Michael adalah antropolog yang mendalami pariwisata dan kebudayaan Indonesia. Dia sering tampil sebagai komentator TV/Radio BBC London untuk masalah Indonesia. Michael baru saja menerbitkan buku tentang batik sebagai desain interior yang diprakarsai oleh mantan Menteri Pariwisata Joop Ave.

Sedangkan Darma adalah dosen Fakultas Sastra Unud yang pernah menjadi wartawan pariwisata. Riset untuk buku ini dilakukan di sela-sela kegiatannya menjadi penerjemah untuk televisi ABC Australia dalam liputan sidang bom Bali. (tin)
posted by The Balebengong 1:53 PM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Monday, June 18, 2007
Kumbasari

Oleh Darma Putra

Pasar Kumbasari di sisi barat Tukad Badung pernah menjadi ikon modern kota Denpasar walau dalam masa yang relatif pendek, antara akhir 1970-an hingga awal 1980-an. Antara tahun itu, Pasar Kumbasari lebih populer dengan sebutan Pertokoan Kumbasari. Arti ‘pasar’ dan ‘toko’ jelaslah bedanya!

Pertokoan atau Pasar Kumbasari yang dilalap si jago merah awal Mei 2007 ini dulunya disebut dengan Peken Payuk (Pasar Periuk). Pasar Payuk ini di bawah kekuasaan Kabupaten Badung, sebelum daerah ini dipecah menjadi Kabupaten Badung dan Kota Denpasar.

Sesuai dengan namanya, Peken Payuk adalah pasar tradisional tempat orang menjual dan membeli alat-alat dapur seperti periuk, panci, coblong, dan jual-beli belanjaan dapur seperi bawang, daging dan sayur; ayam, bebek, dan telur. Juga buah-buahan dan janur.

Lokasi pasar ini agak di lembah sehingga untuk masuk ke pasar itu masyarakat harus menuruni undak dengan sekitar 12 anak, lebarnya sekitar 2,5 meter. Lokasi pintu masuk itu kira-kira sama dengan jalan masuk sekarang. Begitu turun masuk pasar, pengunjung sudah disambut oleh riuh-rendah suara ayam dan bebek, dan riuh-rendah tawar-menawar antara penjual dan pembeli. Juga denting panci dan periuk-periuk yang diketok-lembut telunjuk-lekuk untuk membuktikan barang itu bermutu!

Peken Payuk dirombak menjadi Pasar Kumbasari, diubah menjadi pasar modern untuk mengangkat kadar modernitas kota, pada zaman Kabupaten Badung di bawah kepemimpinan I Dewa Gde Oka. Prasasti peresmian yang ditandatangani Bupati IDG Oka tertempel di tembok sebelah kanan pintu masuk pasar dari Jl Gajah Mada. Sesuai prasasati, Pertokoan Kumbasari mulai hadir pada 22 Maret 1978. Sejak diresmikan berarti kini sudah 29 tahun usia Pasar Kumbasari.

Modernitas Kumbasari tampak pada fasilitas yang terdapat dalam pertokoan itu. Di pojok depan (timur laut) terdapat Restoran Hawaii, tempat turis yang melawat ke Denpasar suka duduk-duduk minum kopi atau juice, roti dan nasi goreng. Dari ruang restoran itu, wisatawan bisa menatap keanggunan pesona Pura Desa Denpasar. Deru bemo roda tiga juga membuat panorama kota tampak unik di mata turis sehinnga tak henti-henti mereka potret.

Di pertokoan itu terdapat banyak toko souvenir, tempat turis juga bisa membeli baju bali, ukir-ukiran, atau patung. Toko-toko baju juga banyak. Juga ada stand cuci-cetak foto. Saat itu, cuci-cetak foto selesai 45 menit baru muncul, menandai hadirnya teknologi baru di kota Denpasar.

Di lantai atas Pertokoan Kumbasari terdapat bioskop Kumbasari Theatre. Ini termasuk gedung bioskop baru, bisa dikatakan paling ‘muda’ dibandingkan gedung lain seperti Indra Theatre (pojok Jl Gajah Mada – Thamrin), Wisata Theatre kini jadi Ciniplex 21 (Jl Thamrin) dan Denpasar Theatre (Jl Diponegoro). Untuk menuju Kumbasari Theatre, pengunjung bisa naik tangga, bisa juga lewat eskalator. Gedung bioskop dan tangga berjalan ini adalah lambang lain hadirnya teknologi baru di Denpasar.

Warga kota atau masyarakat Bali umumnya menjadikan Lokitasari di Jl Thamrin dan Kumbasari di Jl Gajah Mada sebagai ‘mall’ utama untuk berbelanja, menonton bioskop, atau sekedar jalan-jalan cuci-mata. Pelajar atau remaja senang menonton film Sabtu sore dan Minggu siang untuk program “student show” yang harga tiketnya relatif terjangkau di kedua bioskop ini.

Kumbasari sempat menjadi pusat keramaian yang unik, campuran antara pertokoan modern dan pasar tradisional. Petang hari, di ujung selatan Kumbasari terdapat pasar malam, pasar senggol. Rombong sate kambing, nasi goreng, stand kaset, penjual obat kumis, mainan anak-anak ramai sekali sehingga membuat Kumbasari saat itu menjadi semacam ‘one stop shopping and entertainment’. Mobil belum banyak, memarkir sepeda motor gampang sekali. Keliling seputar Denpasar termasuk Kumbasari dengan sepeda motor nyaman sekali.

Walaupun sudah berubah menjadi pertokoan, aktivitas pasar seperti ketika bernama Peken Payuk tetap jalan di areal bawah Pertokoan Kumbasari. Pasar tradisional jalan mulai tengah malam sampai pagi menjelang siang. Karena campuran antara pasar tradisional dan pertokoan inilah Kumbasari menjadi ramai dan akibatnya Pertokoan Kumbasari lama-kelamaan kehilangan daya pikat. Kawin campur antara ‘mall’ dan ‘pasar tradisional’ rupanya tidak tepat. Dalam percampuran itu, tampaknya gèn pasar tradisional Peken Payuk yang menang.

Pengunjung Kumbasari merosot. Turis juga tak terpikat ke sana. Warga kota tidak nyaman refreshing ke tempat yang kotor dan bahu pindang karena aktivitas pasar tradisional. Pedagang suvenir, kain-kain, baju kaos kesepian tanpa pengunjung. Pada saat yang sama, mall lain seperti Matahari Duta Plaza dan New Dewata Ayu berdiri sehingga Kumbasari dalam arti pertokoan ditinggalkan publik. Bioskopnya pun redup dan berhenti operasi.

Sempat dulu di lantai atas Pertokoan Kumbasari dioperasikan usaha diskotik. Ini pun tidak berumur panjang karena pengunjung yang larut, saat ke luar diskotik menemukan motor dan kendaraannya dikelilingi pedagang sayur, susah ke luar. Gedung pertokoan yang bertingkat, yang dulu tampak megah, kini kehilangan pesona.

Mulai akhir 1980-an, pesona modernitas kota Denpasar bergeser ke mall yang lain, juga ke warung-warung makan, restoran, dan ‘internet café’. Pada saat yang sama, Kumbasari kian mengokohkan jati diri ‘tempo doeloe’-nya sebagai pasar tradisional. Kumbasari kembali tampi sebagai pasar tradisional. Dia tampil pèdè seperti tidak tergoyahkan arus modernisasi.

Walaupun transformasi Kumbasari dari pasar periuk menjadi pertokoan modern dan kembali ke pasar tradisional berjalan dalam prosesnya sendiri dan berlangsung beberapa tahun, rasanya begitu cepat, seperti kemarin saja! Atau, karena hanya dalam waktu relatif singkat, orang tidak pernah tahu bahwa Kumbasari pernah menjadi ikon-modern kota Denpasar. [+++]

Catatan:
Kolom 'Denpasar Before & After' berisi tulisan tentang sosok Denpasar dulu dan kini. Kolom ini diisi setiap minggu oleh I Nyoman Darma Putra, penulis yang lahir dan besar di Denpasar. Sejak awal Januari 2007, Darma tinggal di Brisbane, Australia. Artikel ini ditulis dari Negeri Kangguru sambil menghayati rasa rindu pada kota kelahirannya, kampung halamannya, Desa Padangsambian, tepi barat kota Denpasar. Di Balebengong, Darma juga mengulas bagaimana modernitas bersimbosis atau bertabrakan dengan tradisi di Denpasar. Bila perlu, silakan berikan komentar, but be nice, please!
posted by The Balebengong 12:35 PM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Sunday, June 17, 2007
Bali Shanti Shanti Shanti

Pemerintah Bali meluncurkan brand yang terlalu konservatif.

Di lapangan rumput Renon Denpasar, dengan cahaya temaram ketika gelap merayap, sekitar pukul 18.30 Wita, Kepala Dinas Pariwisata Bali Gede Nurjaya menjelaskan peluncuran merk dagang –bahasa kerennya brand, yang artinya sama saja: merk- pada wartawan. Nurjaya berdiri sambil sesekali menunjuk ke layar putih memperlihatkan merk dagang baru itu. Di samping mantan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemprov Bali itu berdiri sebagian anggota tim yang merumuskan merk tersebut.

Wartawan duduk lesehan melihat agak mendongak bergantian, ke Nurjaya, ke layar putih itu. Puluhan pengunjung lapangan Renon petang itu berdiri di belakang wartawan ikut melihat bagaimana merk baru yang dikerjakan sejak akhir 2006 tersebut.

Sebelumnya, sekitar pukul 15.30 Wita, bersamaan dengan pembukaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-29 Sabtu (16/6) lalu Gubernur Bali Dewa Made Beratha meluncurkan merk dagang Bali sebagai tempat tujuan pariwisata. Merk dagang Bali itu berupa tulisan Bali dalam dengan latar belakang ukiran Bali berbentuk segi tiga. Di bawah tulisan Bali itu berisi tulisan Shanti Shanti Shanti.

Peluncuran oleh Gubernur Bali itu disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang hari itu juga membuka PKB dengan pukulan kulkul lalu diikuti tepuk tangan ribuan orang di Jl Raya Puputan Renon Denpasar.

Dalam penjelasannya Gede Nurjaya mengatakan bahwa merk dagang Bali itu akhirnya dibuat secara resmi setelah selama ini julukan pada Bali lebih banyak diberikan oleh orang luar, terutama turis. Misalnya sebutan Bali oleh Jawahral Nehru sebagai tempat matahari terbit –atau semacam itulah- atau Bali sebagai Pulau Seribu Ruko –eh, Seribu Pura-, atau Bali Island of Gods dan seterusnya. “Brand kali ini adalah yang resmi dibuat oleh pemerintah Bali,” kata Nurjaya.

Meski tidak tersurat, merk dagang baru itu mungkin dibuat untuk menandingi gencarnya pesaing Bali sebagai tempat pariwisata mengidentifikasi diri seperti Malaysia menyebut diri sebagai Truly Asia atau Singapura dengan Uniqely Singapore dan seterusnya.

Merk dagang Bali itu sendiri konsepnya menekankan pada tradisi, budaya, dan agama Hindu yang begitu melekat pada Bali. Maka nuansa tradisi, budaya, dan agama itu sangat terasa mulai dari warna, desain, hingga motifnya. Merk itu didominasi merah dengan paduan hitam dan putih yang dikenal di Bali sebagai Tridatu. Sedangkan bentuk segi tiga sebagai pelaksanaan konsep Tri Hita Karana atau tiga hal untuk menjaga keharmonisan alam yaitu hubungan dengan Tuhan, manusia, dan alam.

Munculnya merk tersebut melalui proses panjang. Hartono, salah satu anggota tim perumus mengatakn selama tiga bulan awal, tim melakukan riset dan wawancara mendalam tentang apa sih ciri khas Bali. Wawancara itu dilakukan dengan berbagai kelompok dari kalangan pariwisata, pemuka agama, gubernur dan calon gubernur, bupati, seniman, wartawan, dan banyak lagi. Dari situ muncullah adat, budaya, dan agama Hindu sebagai sesuatu yang sangat khas Bali.

Hasil riset ini kemudian divisualisasikan. Didapatlah merk yang kemudian diluncurkan petang itu. Menurut Hartono, diferensiansi alas pembedaan dari merk dagang pesaing, katakanlah Malaysia, Singapura, dan Thailand memang jadi alasah kenapa merk dagang Bali itu sangat old fashion.

Merk dagang old fashion itu menggabungkan empat hal utama yaitu visual, font, warna, dan tagline. Segi tiga adalah lambang keseimbangan mulai tiga dewa penguasa alam, tiga tingkatan alam, maupun tiga tingkatan hidup. Motif ukiran mewakili keseimbangan (lagi) sekaligus menggambarkan kreativitas orang Bali. Tulisan Bali mengadopsi bentuk dan garis khas aksara Bali dengan huruf B mirip angka 3 dan mirip aksara Ang. Warna ya itu tadi Tridatu sebagai representasi Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Adapun tagline Shanti Shanti Shanti bermakna permohonan agar damai selalu.

Perencanaan, konsep, dan filosofi yang begitu dalam itu ternyata agak susah terjemahkan melalui merk dagang itu. Sekali lagi: bentuknya sangat konservatif.

Filosofi Tri Hita Karana, kedamaian, dan seterusnya itu kan tidak harus divisualisasikan dalam bentuk yang tua begitu. Tidak ada modernitas yang terlihat dalam merk dagang itu. Teguh Mahasari, anggota tim pembuatan pun mengiyakan bahwa memang tidak ada modernitas dalam merk dagang itu. Keunikan Bali kan sebenarnya pada kemampuannya untuk menyerap modernitas itu tanpa harus meninggalkan tradisi. Lihatlah punker di Bali yang masih rajin sembahyang atau ahli teknologi informasi yang masih rajin mebanten di atas komputernya.

Sayangnya anak-anak muda seperti ini tidak mendapat tempat dalam pembuatan merk dagang itu. Kalau orang seperti Rudolf Dethu, Popo Danes, Jango Paramartha, atau anak-anak muda yang mengerti desain dilibatkan mungkin merk dagang itu akan lebih keren. Tag line Shanti misalnya bisa saja tetap muncul –tidak usah tiga kali. Tapi akan menarik kalau kata-kata itu bisa bertemu dengan kata-kata Inggris –yang sudah pasti adalah bahasa universal.

Kalau ini yang muncul, mungkin merk dagang itu akan lebih menarik orang. Sayangnya sih itu menarik buat turis, bukan untuk orang Bali sendiri. [+++]
posted by The Balebengong 9:11 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Saturday, June 16, 2007
Antara Ovu(m)lasi dan Seni

Oleh Susi Andrini

Sedari kecil saya selalu takjub melihat orang hamil. Membayangkan bagaimana dari sebuah ovum dibuahi pada saat ovulasi, menjadi embrio dan membentuk makhluk mungil menggeliat liat. Lalu bagaimanakah seorang saya bisa keluar dari perut ibu? Kata ibu; Jangan main-main dengan vaginamu!

Menurut saya, hamil itu cantik dan sexy. Tapi saya takut hamil. Membayangkan makhluk asing menggerogoti tubuh saya, menghisap darah, mengunyah cairan makanan lewat placenta dan pembuluh darah, lalu meninggalkan ampasnya. Di sanalah makhluk asing bernama embrio itu bertahan dan melangsungkan kehidupan awalnya. Ada kehidupan lain di dalam tubuh. Dan saya harus berbagi karenanya.

Namun, saat setahun setelah menikah tak kunjung juga hamil, saya jadi dag dig dug. Apakah ada masalah pada ovum (sel telur) saya? Ataukah karena menstruasi saya yang tidak teratur? Kata dokter, rahim saya terbalik sehingga sulit untuk hamil. Apalagi jadwal menstruasi yang tidak tetap itu. Kadang dua bulan sekali, kadang tiga bulan atau lebih. Dokter saya bilang, zaman dulu rahim yang terbalik harus dioperasi. Untungnya zaman sudah maju, saya tak perlukan itu. Dokter memberikan terapi obat, dan suntikan hormon penyubur yang saya lupa namanya. Yang teringat oleh saya, berhenti bekerja—karena ingin hamil.

Setiap hari cuma makan tidur dan coitus. Persis minum obat saja 3x sehari. Dokter saya bilang, gaya nungging seperti anjing itu paling cespleng bagi yang punya rahim terbalik. Setelah itu jangan langsung mencuci di kamar mandi, tapi biarkan tidur telungkup dengan kaki rapat atau tidur dengan menyandarkan kaki ke atas tembok. Ternyata betul, saya hamil! Tapi usia kehamilan ternyata sudah tiga bulan. Bodohnya, saya tidak tahu telah hamil karena menstruasi yang tidak teratur itu.

Saya hanya merasakan perubahan dan gejala pada diri sendiri, seperti seringkali merasa mual dan senang sekali mengantuk. Kadang bisa seharian hanya tidur terus. Bawaannya malas. Saya pikir saya sakit. Eh, tak tahunya malah hamil.

Fase Hamil:
Kehamilan terjadi bila ovum (sel telur) dibuahi pada saat ovulasi atau masa subur yaitu masa di mana pada saat subur itu rahim melepaskan sel telur (ovulasi).

Tubuh berubah. Perut membesar. Payudara menjadi kenyal dan kencang. Ia menyimpan dan meproduksi air susu. Saya merasakan kulit-kulit tertarik, memecah pori-pori perut, dan sangat gatal. Tidak boleh digaruk karena akan menyisakan sellulit berupa guratan-guratan putih yang sulit hilang.

Pada awal kehamilan, kandungan saya lemah. Dokter memberikan obat penguat dan suntikan tiap dua minggu sekali. Memasuki bulan kelima, badan, bibir saya merah-merah, gatal dan bengkak. Suntikan pun dihentikan. Waktu itu saya kesulitan makan, seringkali keluar atau termuntahkan. Keadaan itu terus berlangsung sampai usia sembilan bulan. Padahal orang hamil seringkali lapar dan harus banyak makan. Untungnya, saya senang minum susu, kadang tujuh sampai sepuluh kali sehari.

Waktu ngidam, saya suka makan pepaya, buah yang tak sulit didapat meskipun tak sedang musim. Konon itu permintaan sang jabang bayi. Kalau tidak dituruti, anak yang dilahirkan nanti suka mengeluarkan air liur (ngeces). Saat kandungan berusia tujuh bulan, saya suka travelling dan berkeliling ibukota (waktu itu tinggal di Jakarta) membonceng motor trail kuning bersama suami. Makhluk mungil dalam perut itu meggeliat-liat. Antara sakit dan geli.

Karena pengaruh hormon, kadang orang hamil berlaku berlebihan. Ada yang tak suka membaui keringat suaminya. Bahkan hanya untuk sekadar mendekat, apalagi memegang. Kalau sebagian orang ada yang kurang bergairah dalam hubungan seks, namun sebagian lainnya sangat menikmati bersama pasangannya, bahkan di saat-saat menjelang kelahiran. Katanya, itu memudahkan jalan lahirnya bayi.

Usia sembilan bulan. Inilah saat-saat genting menanti tubuh kecil keluar dari persembunyiannya. Makhluk mungil tetapi kuat itu menekan di bawah perut. Rasa mulas meremas-remas dan memelintir usus. Teman saya sampai dua hari tersiksa. Untung saya cuma dua jam. Kelahiran, rasanya seperti mau buang air besar. Ada sesuatu yang menekan-nekan dubur dan vagina saya. Terasa panas dan berat. Lalu air ketuban pecah, merobek vagina, darah muncrat tersembur, dan keluarlah seorang anak. Ajaib!

Meski peristiwa kelahiran adalah hal yang lumrah. Toh ada sebagian orang yang merasa trauma. Teman saya hampir mati saat melahirkan, karena ari-ari yang dikeluarkan terlepas dari pegangan dokter dan masuk lagi ke dalam perut lewat vaginanya. Ia sampai tak sadarkan diri. Entah bagaimana selanjutnya. Untunglah nyawanya tak sampai melayang. Saat-saat menegangkan telah terjadi. Melahirkan, menanggung risiko, dengan segala peluh dan perjuangan, taruhannya adalah nyawa

Mungkin karena risiko melahirkan begitu besar dan zaman sudah semakin maju. Ada orang dan ada dokter yang lebih senang melakukan operasi cesar. Sedikit saja ada masalah, rujukannya cesar. Selain itu ada juga orang-orang yang ingin dicesar saja dengan alasan hanya takut vaginanya rusak. Padahal, melahirkan secara normal dan alami, meski teramat sakit tapi begitu indah dan mengesankan. Jangan takut pada vaginamu!

Hubungan dengan Seni
Melalui karya, sembilan seniman ini mencoba menuangkan ide dalam penciptaan karya lewat mata kepala dan mata hatinya. Dalam hal ini, sembilan seniman ini mencoba menuangkan gagasan, mengungkapkan rasa dan keindahan lewat “ketelanjangan” sebuah objek dari perempuan hamil. Melalui kepekaan seseorang untuk menangkap setiap rangsangan dari luar seniman, rangsangan dengan tajuk Ovu(m)lasi diharapkan dapat menggugah rasa sensitivitas seniman itu sendiri dalam berkarya sesuai pengalaman dan apa yang telah direkamnya di alam sadar dan bawah sadarnya, menjadi satu keindahan karya.

Sebagian mereka adalah seorang bapak, yang juga pernah merasakan kesenangan, kesedihan dan gelisah saat istrinya mengandung dan melahirkan. Di antaranya, mungkin pernah merasakan gerak janin di perut pasangannya dan mendengarkan irama detak jam teratur di dalamnya.. Mungkinkah itu kaki? Tangan? Pantat? Atau kepala dari embrio yang semakin membesar? Namun, ada seniman yang belum menjadi bapak, sebuah pengalaman traumatik, ketika membantu seorang ibu melahirkan.

Karya-karya sembilan perupa ini, (yang tidak bermaksud sebagai perwakilan sembilan bulan kehamilan) semoga bisa menggugah rasa empati kita untuk bisa lebih mengerti dan menyayangi kaum hawa. Terlebih pasangan kita sendiri yang telah memberikan keturunan. Karena merekalah penerus dinasti keluarga masing-masing. Cikal bakal kehidupan baru penciptaan dari setetes anggur kehidupan (sperma). Dengan segala rasa dan asa membawanya pergi selama sembilan bulan dan meregang nyawa sebagai taruhannya, saat melahirkan.

Kini saya menjadi tahu dan mengerti. Bahkan bisa merasakan, bagaimana saya bisa keluar dari perut ibu. Berawal dari vagina dan berakhir lewat vagina, pada sebuah proses dari ovu(m)lasi. Kata ibu; Jangan main-main dengan vaginamu! [+++]

Susi Andrini, ibu rumah tangga dengan tiga anak, penggiat seni budaya dan pendidikan. Tulisan ini hanya untuk berbagi pengalaman pribadi. Pengalaman yang unik dan berbeda bisa terjadi pada masing-masing individu.
posted by The Balebengong 8:54 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Friday, June 15, 2007
Sanur Village Festival Kedua

-diambil dari press release-

Dari dan untuk Masyarakat

Ketua Yayasan Pembangunan Sanur, satu-satunya yayasan bidang sosial di Sanur, Denpasar Ida Bagus Sidharta Putra mengumumkan tanggal penyelenggaraan Even Sanur Village Festival yang memasuki tahun kedua, yang ditetapkan pada 15 - 19 Agustus 2007 di Inna Grand Bali Beach dan Segara Beach. Even yang mengusung tema "fun and cultural event" ini kegiatannya digali dari kegiatan masyarakat Sanur sendiri di mana even ini ditujukan bagi masyakarat Bali secara keseluruhan dan bagi kalangan internasional.

Keberhasilan festival tahun lalu menjadi patokan bagi panitia penyelenggara untuk berupaya menciptakan dan mengembangkan even yang lebih seru tahun ini. Tanpa mengabaikan kehidupan tradisional pedesaan, yang sejak dahulu sudah banyak menarik minat pengunjung ketika Sanur masih menjadi tujuan wisata utama Bali, festival ini akan berupaya mempertahankan tujuan utamanya yakni sebagai landasan dalam memposisikan Sanur sebagai tujuan wisata yang aman bagi para wisatawan dengan menekankan pada even bertema budaya dan berkolaborasi dengan pengembangan industri wisata moderen dewasa ini.

Gabungan berbagai event ini akan diawali dengan upacara pembukaan, memperkenalkan artis Bali berbakat; Bona Alit diikuti dengan berbagai event yang disesuaikan untuk semua kalangan, termasuk program meditasi yoga massal. Berbagai pertunjukan budaya, festival boga, kompetisi water sports, jazz festival sampai pameran kartun internasional dari para kartunis terbaik se-Indonesia dan Australia. Acara tersebut hanya sebagian kecil dari hiburan yang akan disajikan selama event ini. Event tersebut sudah dijadwalkan sehingga tercipta peluang-peluang untuk menemukan aspek budaya Sanur sekaligus memperkenalkan pengembangan daerah ini yang mengawinkan pariwisata moderen dan global.

Kegiatan yang dijadwalkan tahun ini meliputi: 1) Kompetisi juru masak tahunan ICA : lingkup nasional, 2) Parade budaya, 3) Pertunjukan budaya, 4) Fun bike dan city tour, 5) Pameran Seni dan Lukisan, 6) Pameran Bonsai dan Adenium Internasional, 7) Food festival dan bazaar, 8) Kompetisi water sports; perahu jukung, surfing, kite surfing, wind surfing, kayaking, dan canoe, 9) Turnamen Golf, 10) Lomba layang-layang, 11) Fun Games, 12) Jazz festival, 13) Under water festival, 14) Pameran Kartun Internasional : Indonesia – Australia, 15) Kampanye Kebersihan, 16) Kegiatan yoga massal, 17) Parade DJ, dan 18) Kompetisi rugby internasional

“Keberadaan Sanur Village Festival diharapkan dapat menarik semakin banyak wisatawan mancanegara untuk menemukan berbagai aspek kehidupan, yang terjalin erat dengan pengembangan pariwisata di Sanur. Kami mengharapkan dapat mengusung konsep unik ini dan memperkenalkannya kepada dunia internasional bagaimana pariwisata menjadi nafas kehidupan bagi para penduduk Sanur, dan pada saat yang bersamaan saat ini merupakan momen bagi mereka untuk menemukan keunikan Sanur Village tersebut” ungkap Ida Bagus Sidharta Putra, Ketua Yayasan Pembangunan Sanur.

Sanur memang merupakan ajang yang wajib dikunjungi dari tanggal 15 - 19 Agustus 2007 karena segenap desa Sanur dan pelaku wisata akan merayakan acara spesial ini.

Catatan Redaksi :
Sanur Village Festival merupakan inisiatif dari Yayasan Pembangun Sanur. Bertujuan untuk mengembalikan citra Sanur sebagai salah satu tujuan wisata utama di Bali, berbagai acara menarik akan memeriahkan festival selama lima hari di Sanur. Diisi oleh pertunjukan seni, budaya, serta aktifitas olahraga dan masih banyak lagi kegiatan menarik. Sanur Village Festival diharapkan menjadi inspirasi untuk komunitas Sanur.

Untuk informasi lebih lanjut silakan hubungi :
Travel Works Communications International
Tel : +62.361.284.095
Fax : +62.361.270.189
Email : info@travelworks-bali.com
posted by The Balebengong 12:25 PM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

MINIKINO SHORT FILMS
-kabar ini diambil dari milis jurnalisme-
MINIKINO would like to invite you to:
MINIKINO SHORT FILMS SCREENING & DISCUSSION
Sunday, June 17th 2007, 16.00 WITA
Loka Pancar Office Building
Jl. Tjok Agung Tresna No.87-88
Denpasar
(Renon, next to Cianjur Grilled Fish restaurant)
Contact: Edo Wulia (+6281339603496)
Sunday, July 1st 2007, 14:00 WIB
Oktagon Gallery
Jl. Gunung Sahari Raya 50A
Jakarta 10610Contact: Dian Siswandi (+628161156999)
Free entry - please be on time
SHORT FILMS SCREENING AND DISCUSSION June 2007
Program: JiFFest Script Development Competition 2005 Winners/ Short Fiction Category-
Discussion with Ariani Darmawan
Every year, JiFFest conducts its own annual script development workshop, where selected scriptwriters are invited to attend a 10-day workshop. On the last day of the workshop, the participants must pitch their developed script to juries, who will then determine the winners. The winning scripts are made into films. The following films are the winners of JiFFest Script Development Competition in 2005 for Short Fiction Category, and they were premiered during JiFFest 2006.
---------------------------------
The Last Believer
By Tumpal Tampubolon
Indonesia. 2006. Video. 11 Min.
A kid believes that being a vampire can cure her ailing sister.
---------------------------------
Positive +
By Astu Prasidya and Utawa Tresno
Indonesia. 2006. Video. 8 Min.
After finding out that she is positively pregnant, a girl has to face another disaster: her parents' action.
---------------------------------
Anniversaries
By Ariani Darmawan
Indonesia. 2006. Video. 10 Min.
A portrait of a monotonous husband-and-wife relationship, highlighted through scattered moments on their yearly wedding anniversaries, set in an elevator.
---------------------------------
m i n i k i n o - your healthy dose of short films
Jl. Diponegoro 114
Denpasar, Bali 80113
Indonesia
posted by The Balebengong 8:16 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Thursday, June 14, 2007
Gayas Serang Bali Timur


Ribuan pohon cokelat di Bali timur diserang hama uret (Phyllophaga helera Brsk) yang oleh warga setempat disebut gayas. Selain pada pohon cokelat, hama berbentuk larva itu juga menyerang durian, ketela rambat, dan pohon albesia. Akibatnya petani mengaku rugi hingga ratusan juta.

Serangan gayas itu paling banyak terjadi pada tanaman coklat petani di Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, Bali timur. Di daerah tidak jauh dari Gunung Agung Karangasem itu gayas menyerang sejak dua bulan terakhir. Gayas itu dengan mudah ditemukan di tanah di bawah tanaman petani. Bagian yang diserang tanaman ini paling banyak adalah akar tanaman selain juga pohon dan daun.

Serangan gayas itu, misalnya, terjadi di pohon cokelat milik I Made Rai, 67 tahun. Menurut bapak empat anak ini gayas menyerang sekitar 200 pohon dari sekitar 500 pohon cokelat miliknya yang ditandai dengan pohon menguning, daun mengering, lalu pohon itu mati.

Ketua Kelompok Tani Ancut di Desa Pidpid Wayan Gemuk, 42 tahun, mengatakan hama gayas sebenarnya selalu terjadi tiap tahun menjelang musim kemarau. Namun sejak lima tahun terakhir, populasi gayas itu terlalu banyak. “Karena itu pohon yang dimakan oleh gayas pun semakin banyak,” katanya. Gemuk menambahkan bahwa sekitar 25 are pohon albesia miliknya pun diserang gayas dengan cara yang sama pada pohon lain. Menurut Gemuk ada sekitar 45 petani yang tanamannya terserang gayas tersebut.

Selain pohon cokelat dan pohon albesia, tanaman lain yang diserang gayas adalah ketela rambat. Selasa lalu misalnya umbi-umbi ketela pohon petani setempat yang dicabut hanya tinggal separuh. Padahal hanya ada satu gayas yang memakan ketela rambat itu.

Menurut Gemuk, serangan gayas pada pohon terjadi tidak hanya di Desa Pidpid tapi juga di desa-desa lain di sekitar desa tersebut. Bahkan, serangan itu juga terjadi pada areal petani di Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng yang memang berbatasan dengan Kecamatan Abang, Karangasem. Dua kecamatan ini selama ini dikenal sebagai daerah kering karena sulitnya petani mendapatkan air. Karena itu petani setempat lebih banyak menanam tanaman umur panjang seperti coklat.

Sementara itu Luh Kartini, Dosen Fakultas Pertanian Univeristas Udayana Bali yang datang ke lokasi itu memperkirakan maraknya serangan gayas di petani setempat akibat makin berkurangnya kadar organik di perkebunan mereka. “Biasanya gayas menyerang karena di areal itu kadar organiknya makin berkurang akibat pemakaian bahan-bahan kimia seperti pupuk dan pestisida untuk bertani,” kata Kartini.

Ketua Bali Organic Assosiation (BOA) tersebut membenarkan bahwa serangan gayas juga terjadi di daerah lain di Bali timur. Karena itu, menurutnya, petani setempat perlu memperbanyak penggunaan bahan organik seperti pupuk kandang untuk bertani. [+++]
posted by The Balebengong 1:53 PM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Monday, June 11, 2007
In Memoriam of Sekar
Oleh Made Ayu Putri Rasmini

Akhir perjuangan perempuan ODHA yang berhenti ikut terapi ARV.

Kisah nyata pengalaman Relawan Sobat mendampingi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di rumah sakit.

Denpasar, 7 Juni 2007
Dering handphone membangunkan saya pagi itu pukul 07.15 Wita. Istina Dewi, Koordinator Sobat, kelompok dukungan sebaya pendorong kepatuhan ODHA untuk terapi antiretroviral (ARV) juga pendukung emosional bagi ODHA, mengirimkan kabar bahwa Sekar (bukan nama sebenarnya) meninggal dunia pagi itu.

Saya shock, sebab dua hari lalu dia masih sehat ketika saya dampingi, bahkan sempat makan nasi padang yang dibawakan rekannya, Ikha Widari. ”Ayo, Lan. Temenin aku makan. Aku gak selera kalo makan sendirian,” bujuk perempuan berusia 30an itu sambil memasukkan nasi ke mulutnya. Dia sangat menikmati nasi padang tersebut, meskipun sebenarnya dia tidak boleh makan nasi padang karena masih diare.

“Aku bosen sama menu rumah sakit, Lan,” ungkapnya sekaligus memberikan jawaban atas aksi mogok makan yang dilakukannya selama beberapa hari di rumah sakit. Tubuhnya makin tak bertenaga melawan penyakit akibat aksi mogok makan itu.

Sekar seorang perempuan positif HIV, bahkan sudah pada fase AIDS. Dia telah gagal melawan infeksi oportunistik sebagai dampak menurunnya sistem kekebalan tubuh akibat HIV yang bersarang di tubuhnya. Tidak jelas dari mana dia tertular HIV, karena ada dua perilaku resiko yang dia lakukan.

Pertama, dia mantan pecandu narkoba suntik (penasun) atau injectng drugs user (IDU) sehingga sangat mungkin dia tertular HIV melalui pertukaran jarum suntik dengan sesama IDU yang HIV +. Kedua, dia menganut free sex alias suka berganti-ganti pasangan dan tanpa kondom. Hal ini juga memungkinkan dia tertular HIV melalui pertukaran cairan kelamin.

Dia melalui masa-masa perjuangan yang berat. Sekitar dua bulan terakhir pasca putus obat, kekebalan tubuhnya terus menurun. Dia digerogoti berbagai penyakit seperti batuk, panas-dingin dan diare. Akhirnya pada 28 Mei 2007 malam dia dilarikan ke instalasi gawat darurat Rumah Sakit Sanglah. Setelah menjalani tes diketahui dia menderita TBC dan diare. Makin hari kondisinya makin lemah. Apalagi karena dia mogok makan dan dehidrasi akibat diare berkepanjangan. Pada 3 Mei 2007 dia sesak nafas dan harus dibantu dengan tabung oksigen.

Sekar harus mengakhiri perjuangan hidupnya di hari ke-10. Ironisnya, sehari sebelum kematiannya, 6 Juni 2007, ada pemberitahuan dari pihak panitia bahwa abstrak yang ditulis olehnya untuk mengikuti Kongres ODHA dan orang hidup dengan ODHA (OHIDA) II pada 29 Juli - 1 Agustus di Jakarta berhasil lolos seleksi. Dia juga salah satu yang berhasil mendapatkan dukungan beasiswa dari Spiritia untuk mengikuti kongres tersebut. Seharusnya abstrak tersebut dipresentasikan secara lisan olehnya.

Sekar sudah memutuskan berhenti minum ARV (putus obat) sejak sepuluh bulan lalu, tanpa meminta pertimbangan siapa pun. Padahal ARV sangat membantu meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang usia ODHA dengan cara menghambat replikasi virusnya sehingga kekebalan tubuh akan meningkat maka ODHA jauh lebih mampu melawan infeksi yang menyerang. Daripada sama sekali tidak terapi ARV, ODHA akan lebih cepat memasuki fase AIDS seperti yang dialami Sekar di mana terjadi infeksi oportunistik.

ARV tidaklah seperti obat sakit kepala yang setelah sakit kepala hilang pengobatan dihentikan. ARV harus diminum seumur hidup ODHA. Jika putus obat akan mengakibatkan resistensi sehingga obat tidak lagi berfungsi. Paling parah adalah apa yang dialami Sekar, semua infeksi oprtunistik menyerang.

Kepatuhan merupakan tantangan berat bagi ODHA. Bukan sekadar masalah pengingatan minum obatnya, ada banyak alasan mengapa ODHA kesulitan dengan kepatuhan. ARV dipakai seumur hidup ODHA tersebut. Ini menjadi beban materiil, moril, fisik dan mental bagi ODHA. Belum lagi efek samping ARV yang harus dialami ODHA.

Sekar sempat memaparkan bahwa dia putus obat karena awalnya dia terkena efek samping ARV jenis efavirenz. Ketika itu dia ingin hamil sedangkan efavirenz yang dia konsumsi memberikan efek samping mengeringkan kandungan sehingga sulit hamil. Setelah konsultasi dengan dokter, Sekar mengganti ARV-nya dengan jenis lain yang lebih memungkinkan dia untuk hamil.

Namun, ternyata obat tersebut tidak cocok berinteraksi di dalam tubuhnya sehingga menimbulkan efek samping yang membahayakan jiwanya. Bahkan dia harus dirawat di rumah sakit selama empat hari.

Oleh dokter yang menangani, Sekar kemudian dianjurkan berhenti sementara mengonsumsi ARV sampai kesehatannya pulih. Jika pulih, ia kembali dianjurkan dokter mengonsumsi efavirenz lagi. Jadi dia mengurungkan niatnya untuk hamil.

Sekar yang salah paham, entah karena komunikasi yang kurang pas, merasa diperlakukan sewenang-wenang. “Kok seenaknya mutusin terapiku, apa tidak mikir kalau terjadi resistensi virus,” katanya jengkel. “Lagian juga aku lihat beberapa teman yang putus obat baik-baik saja,” imbuhnya mencari pembenaran atas keputusannya.

Padahal, sebenarnya, pertimbangan dokter pada saat itu adalah jika terapi dilanjutkan maka akan mengancam nyawa Sekar. Sebab obat itu tidak bereaksi dengan baik di dalam tubuhnya sehingga harus segera dihentikan pemakaiannya.

Setelah pulih rupanya dia menjadi cuek dan tidak patuh, tidak lagi seantusias dulu menjalani terapi. “Lha wong dokter saja berani mutusin terapiku dan aku baik-baik saja,” tandasnya.

Hal ini dia sembunyikan selama sekitar sepuluh bulan lamanya. Hingga suatu ketika saya mengungkapkan kekagetan dan kekhawatiran saya terhadap perubahan pada dirinya. Berat badannya merosot drastis. Dia panas dan batuk berkepanjangan. Pola makannya sangat buruk.

“Duh gobloknya aku ikut-ikutan orang lain,” ungkapnya menyesali keputusannya ketika infeksi penyakit kian membombardir tubuhnya.
Setidaknya kematian Sekar menjadi sebuah sinyal peringatan bagi ODHA lain yang saat ini berhenti terapi ARV. Maka, ODHA yang belum dan akan memutuskan terapi ini, sebaiknya berpikir matang jika memutuskan untuk ART begitu juga menghentikannya.

Hingga saat ini ART merupakan solusi yang paling tepat untuk membantu meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang usia ODHA, tentunya dengan konsekuensi logis bahwa ini dilakukan seumur hidup.

“Aku mau makan es krim aja masa gak boleh sih?” pintanya ketika panas badannya menghebat, bulir-bulir keringat menghiasi dahinya. Nampaknya ini permintaan terakhir Sekar sebelum sakratul maut menjemput ajalnya.

Suara isak tangis keluarga dan teman-teman almarhumah Sekar membanjiri ruangan jenazah pagi itu. Padahal tinggal selangkah lagi Sekar menuju pelaminan dengan Tony (bukan nama sebenarnya). Tetapi semua itu KANDAS seperti judul tulisan tentang kisah hidup Sekar yang ditulisnya dalam sebuah buku yang akan diterbitkan UNAIDS. Kedua putrinya, Dian dan Ari tak henti-hentinya meratapi jenazah ibunda mereka yang nampak tersenyum dalam pelukan kematian. Tumini, ibunda Sekar sangat menyesal tidak bisa melihat putrinya untuk terakhir kali karena Sekar sendiri yang melarang memberitahu keluarganya. Keluarga dan teman-teman tak henti-hentinya memanjatkan doa, semoga Sekar beristirahat dengan tenang dan diterima disisi-Nya.

Dedicated to my good buddy, Sekar.
I always remember bout time we had spent and story we had share together.
Thank u for the pretty memory you left for me.

Made Ayu Putri Rasmini, akrab dipanggil Ollan, adalah relawan Sobat di Yayasan Bali+, Kelompok Dukungan untuk orang dengan HIV/AIDS di Denpasar Bali.
posted by The Balebengong 8:29 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Sunday, June 10, 2007
Liburan Sepi di Pasar Kumbasari

“Sekarang sepi, Mas. Tidak ada yang lewat ke atas soalnya. Kalau dulu lantai atas masih ada kan ada saja orang lewat,” kata Wayan, penjaga toko kerajinan Hawaii di lantai dua Pasar Kumbasari Denpasar Sabtu kemarin. Wayan pun lebih banyak bersantai di depan toko yang menjual souvenir beraneka ragam itu: ada patung asmat, gantungan kunci, ijuk hiasan, dan lain-lain.

Sekali-kali Wayan membersihkan beberapa jualannya. Satu dua orang yang melintas hanya tersenyum padanya, tidak mampir apalagi membeli jualannya. “Kalau sebelum terbakar, kami bisa lah dapat tiga juta per hari. Sekarang dapat saju juta saja sudah syukur,” lanjut Wayan.

Sore itu Pasar Kumbasari memang lengang. Padahal Juni biasanya musim puncak liburan terutama bagi anak-anak sekolah. Banyaknya orang liburan tentu saja berdampak pada banyak tidaknya jualan yang laku di Kumbasari, pasar souvenir terbesar di Denpasar. Tapi meski musim liburan sudah tiba, suasana Pasar Kumbasari terasa sepi. Hanya ada satu dua turis lokal jalan-jalan. Selebihnya, penjaga toko yang pada melongo.

Terbakarnya Pasar Kumbasari awal Mei lalu jadi penyebab utama sepinya pasar yang terletak di Jl Gajah Mada ini. Sebelum terbakar, Pasar Kumbasari menjual beraneka ragam souvenir di berbagai lantainya. Maka pasar pun hiruk pikuk dengan orang yang lalu lalang memberi barang kenangan. Tapi pasar menjual kenangan itu malah tinggal kenangan bagi pedagang di sana setelah terbakar.

Saat ini memang masih ada toko-toko souvenir di Pasar Kumbasari tapi hanya di lantai dua. Lantai tiga dan empat habis terbakar. Hanya tinggal arang menghitam memenuhi seluruh bagian. Dulu pedagang di lantai dua mungkin yang paling ramai karena lantai ini yang pertama dituju pembeli setelah dari tempat parkir di bagian depan pasar. Kalau ke lantai tiga dan empat, pembeli pasti lewat lantai ini. Kecuali pembelinya bisa terbang ya lain lagi.

Tapi kini tidak ada lagi lantai tiga dan empat. Pembeli yang sekadar jalan di lantai dua pun jarang.

Penjual souvenir di lantai tiga dan empat kini beralih di depan Pasar Kumbasari, pasar kebutuhan pokok yang terpisah kali Badung dengan Pasar Kumbasari. Mereka membuat toko semi permanen. Sebagian pedagang menempati toko yang sama sepanjang jalan masuk Pasar Kumbasari di depan tokoh-toko di lantai dasar.

Toh, meski di pinggir jalan, toko-toko itu juga sepi. Pembeli jarang yang datang. Siang itu, sekitar pukul 14.00 Wita sebagian penunggu toko, yang rata-rata perempuan, malah terlelap di antara deru suara kendaraan. Mungkin bermimpi Pasar Kumbasari segera ramai kembali. [+++]
posted by The Balebengong 7:36 PM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Saturday, June 9, 2007
Eldah Terangkat Alang-alang

Di antara hiruk pikuk Jl By Pass Ngurah Rai Sanur Denpasar delapan orang sedang sibuk menganyam rumput alang-alang. Mereka duduk di lantai tanah beralaskan kursi kayu kecil, mengambil segenggam alang-alang keirng, memasukkan di bawah jepitan bambu, lalu melipat pangkal alang-alang kering itu mengikuti panjang bilahan bambu. Tiap selesai satu genggam alang-alang, mereka akan mengambil alang-alang lain yang menggunung di sekeliling mereka. Satu. Dua. Tiga. Tiap genggam alang-alang itu ditata mengikuti bilahan bambu sepanjang tiga meter itu hingga alang-alang itu menjadi bahan yang siap jadi atap.

Kamis sore lalu, sekitar pukul 16.30 Wita, ketika ratusan motor dan mobil melaju pulang ke rumah masing-masing seusai kerja, empat perempuan dan empat laki-laki itu masih tekun menganyam alang-alang kering itu jadi atap siap pakai. Mereka tidak terikat jam kerja, tapi pada sudah gelap atau tidak tempat mereka bekerja.

Mereka bekerja sejak pukul 8 pagi. Tidak perlu berangkat pagi untuk bekerja karena mereka juga tinggal di rumah, mungkin lebih tepat gubuk, berdinding anyaman bambu beratap alang-alang, berlantai tanah, di sebelah tempat kerja. Di atas tanah kontrakan berjarak sekitar 20 meter dari jalan raya itu mereka bekerja sekaligus tinggal bersama beberapa anak balita.

Menurut salah satu pegawai, tiap hari satu pekerja bisa mendapat hingga 30 buah atap alang-alang. Jadi, dalam sehari delapan pekerja itu menghasilkan 240 buah atap alang-alang berukuran panjang 3 x 1 meter persegi tersebut. Harga satu buah atap itu Rp 6000 hingga Rp 7000. Berarti pendapatan kotor dari atap alang-alang ya sekitar Rp 1,4 juta. Tak heran jika bos mereka tinggal duduk santai di tempat kerja lain, sekitar 1 km dari tempat kerja tersebut.

Bos pekerja-pekerja itu, Eldah, memulai bisnis atap alang-alang itu sejak 1996 di sisi Jl By Pass IB Mantra yang ketika itu masih bernama Jl Raya Ketewel. Eldah dan suaminya meninggalkan Lombok Barat, daerah asal mereka, bermodal kemampuan membuat atap alang-alang. Eh, ternyata di Bali mereka bisa membuat usaha itu maju. Bagaimana tidak, dalam sehari saja mereka bisa mendapat penghasilan kotor Rp 1,4 juta. Itu baru dari atap alang-alang. Padahal mereka juga punya usaha membuat bale bengong yang harganya antara Rp 2 juta hingga Rp 3 juta. Di kartu namanya Eldah menulis sebagai The Grass Balinese Alang-Alang. Selain atap alang-alang dan bale bengong, Eldah juga menjual batu koral, pasir, tanah urug, hingga tali ijuk.

Barang-barang yang bagi sebagian orang mungkin tidak berguna itu ternyata laris manis juga. Sore itu di tempat kerjanya di Jl By Pass IB Mantra, Eldah mendapat pesanan membuat bale bengong dari salah satu turis Eropa. “Dia pesan untuk villanya di Nusa Lembongan,” kata Eldah.

Untuk membuat atap alang-alang, Eldah hanya mengandalkan delapan pekerjanya di gudang, demikian dia menyebut tempat kerja lain di Jl By Pass Ngurah Rai. Sedangkan untuk mengerjakan bale bengong dan pemasangan atap alang-alang hingga jadi, dia bekerja sama dengan tukang lain. Mirip kerja outsourcing lah. Membuat bale bengong dan pemasangan atap alang-alang ini memang lebih rumit. “Soalnya bahan bangunannya bambu, jadi lebih rumit. Kalau kayu lebih gampang,” kata Gusti, tukang yang biasa kerja sama dengan Eldah.



Saat ini, pesanan membuat atap alang-alang dan bale bengong di Eldah lebih banyak dari pemilik villa. Pekan lalu itu dia sedang mengerjakan atap alang-alang untuk dua villa di Singaraja, Bali utara. Tak hanya dalam negeri, alang-alang made in Denpasar itu juga diekspor ke Australia, Jepang, dan Arab Saudi. [+++]
posted by The Balebengong 3:19 PM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Thursday, June 7, 2007
Lila Bhuwana

Pengantar Penunggu Balebengong:
Balebengong membuka kolom 'Denpasar Before & After' yang berisi tulisan tentang sosok Denpasar dulu dan kini. Kolom ini diisi setiap minggu oleh I Nyoman Darma Putra, penulis yang lahir dan besar di Denpasar. Sejak awal Januari 2007, Darma tinggal di Brisbane, Australia. Artikel ini ditulis dari Negeri Kangguru sambil menghayati rasa rindu pada kota kelahirannya, kampung halamannya, Desa Padangsambian, tepi barat kota Denpasar. Di Balebengong, Darma juga mengulas bagaimana modernitas bersimbosis atau bertabrakan dengan tradisi di Denpasar. Bila perlu, silakan berikan komentar, but be nice, please!
--

Lila Bhuwana

Oleh Darma Putra

Gedung olah raga mewah di sudut barat-laut Stadion Ngurah Rai Denpasar dulunya merupakan pasar senggol yang ramai dan gedung bioskop yang merakyat. Pasar senggol tersebut terkenal dengan nama Lila Bhuwana, sedangkan gedung bioskopnya disebut Lila Bhuwana Theatre.

Lila Bhuwana adalah nama yang indah. Dalam bahasa Bali, ‘lila’ artinya ‘senang’, ‘bhuwana’ artinya ‘dunia atau tempat’. Sesuai dengan namanya, Lila Bhuwana memang merupakan tempat warga urban kota Denpasar tempo doeloe untuk bersenang-senang. Selain Lila Bhuwana, kehidupan malam yang juga menarik waktu itu adalah Suci (pojok utara Jl Diponogoro).

Karena lokasinya yang strategis, di tepi jalan utama dan dalam jalur kendaraan umum, Lila Bhuwana menjadi ramai setiap malam. Lila Bhuwana menjadi salah satu denyut nadi kehidupan malam Denpasar tahun 1980 ke belakang, sebelum kota ini dihadiri mall-mall. Lila Bhuwana lebih ramai, lebih luas, dan lebih riuh dari pada Suci.

Setiap malam, mulai pukul 5 sore, Lila Bhuwana mulai ramai. Di sana ada dagang nasi campur, stand jamu, nasi goreng dan cap cay, sate dan gulai kambing, dan soto ayam. Nasi bungkus juga ada bagi orang yang tidak cukup waktu untuk santai di Lila Bhuwana. Pisang goreng, martabak, kopi kebus dan kacang ijo juga juga tersedia. Asap arang sate, atau desah kompor gas pisang goreng bercampur menciptakan irama keriuhan sejak pukul 5 sore hingga pukul 12.00 malam, sejalan irama ramainya pengunjung.

Tidak ketinggalan pula dagang serombotan klungkung yang sangat populer. Hanya dalam hitungan satu-dua jam, serombotan sering amblas. Larisnya serombotan ini bukan saja menandai sedapnya masakan khas dari Klungkung tetapi juga mulainya masakan daerah masuk dan diminati warga urban Denpasar.

Selain tenda makanan, di sana juga hadir stand yang menjual bermacam baju, mulai dari baju kaos, kemeja, celana dalam, kaos kaki, tas dan sepatu. Juga ada dagang kaset. Saat itu, kaset sangat populer, jauh sebelum CD atau VCD menggantikannya di era pertengahan 1990-an. Kaset lagu Indonesia (pop dan dangdut), pop Bali, dan lagu Barat tersedia dengan harga murah, harga pasar senggol. Saat itu, kaset masih merupakan lambang modernitas masyarakat.

Sebagaimana layaknya pasar senggol di mana-mana, Lila Bhuwana pun dimeriahkan pedagang obat yang lihai propagada dengan loud-speaker yang suaranya di sepi malam bisa kedengaran sampai Taensiat di barat atau Tonja di timur. Atraksinya menarik, walau tidak pernah sampai dilakukan dengan optimal. Jumlahnya bisa lebih dari dua atau tiga sehingga Lila Bhuwana benar-benar menjadi pasar senggol yang komplit. Agar tampak saling membantu, sesama dagang obat sering tampil bergantian sehingga sama-sama bisa menangguk rezeki.

Tidak ada pasar senggol kalau tidak dilengkapi kupu-kupu malam. Di sisi selatan, di tempat yang remang; atau di tempat terang yang gabung dengan warung makanan, senantiasa ada wanita yang bisa dibawa pergi untuk menikmati malam dengan bayaran. Sebagian dari kupu-kupu malam itu ada yang berrumah di Lumintang, terkenal dengan sebutan Carik (sawah), tempat orang mencangkul: bukan mencangkul tanah, tapi wanita!

Walau ada kupu-kupu malam, nama Lila Bhuwana tetaplah harum untuk mencari makanan dan hiburan. Gedung bioskopnya hebat dan sering ramai, terutama saat memutar film Indonesia atau saat hari raya. Film ‘Ratapan Anak Tiri’ yang sedih dan film ‘Balas Dendam’ yang syuting di Bali pernah menjadi saksi magnet Lila Bhuwana menarik penonton. Perpaduan bioskop dan pasar senggol memang menjadi perpaduan yang unik buat Lila Bhuwana sebagai tempat hiburan rakyat menengah ke bawah.

Lila Bhuwana akan semakin ramai kalau di sisi selatan, depan stadion, dilaksanakan pameran pembangunan 17 Agustusan. Dalam pameran yang biasanya buka sampai malam hari, dipentaskan kesenian Bali atau pemutaran film pembangunan, dokumenter. Warga kota dan pelajar berduyun ke sana siang dan malam. Denyut Lila Bhuwana menjadi lebih seru, pedagang bisa lebih laris. Jalan Melati biasa sesak oleh sepeda dan sepeda motor. Mobil belum banyak saat itu.

Keramaian dan keunikan pasar senggol Lila Bhuwana berlanjut sampai pertengahan 1980-an, walaupun bioskopnya lebih dulu pudar karena hadirnya dan persaingan dengan bioskop ber-AC dan mewah seperti Nirwana, Indra Theatre, dan Wisata Theatre di Jl Thamrin. Walaupun masyarakat secara ekonomi sebetulnya lebih pas dengan tarif bisokop Lila Bhuwana, mereka terbius untuk menikmati hal-hal yang mutakhir: gedung berpendingin, kursi empuk, sambil makan empuk-jagung atau kwaci.

Entah karena dianggap tidak pas dengan wajah kota Denpasar yang kian bersolek modern, atau tanah itu memang bukan diperuntukkan buat pasar senggol, akhirnya menjelang akhir 1980-an, Lila Bhuwana dikosongkan. Sebagian pedagangnya pindah ke pasar Kereneng, pasar senggol yang sudah hadir sebelumnya tetapi tak begitu ramai.

Keluhan dari pedagang cukup keras tetapi tidak ada protes atau demonstrasi. Tidak ada LSM, LBH, atau mahasiswa yang membela kepentingan pedagang atau kepentingan publik atas Lila Bhuwana. Media massa yang lemah mengontrol pemerintah juga mempercepat lenyapnya Lila Bhuwana. Di zaman kuatnya pemerintah, rakyat dengan mudah dikalahkan. Lila Bhuwana kini adalah nama banjar di Jl Trijata, belakang gedung Bank Indonesia (lama), sedangkan keriangan pasar senggolnya tinggal kenangan!

Lila Bhuwana yang merupakan masa lalu night life kota Denpasar sudah hampir dua dekade hilang, sudah hampir dua dekade sudut utara Jl Melati yang dulu terang dan ramai menjadi sunyi senyap; sementara gedung olah raga modern yang sudah dibangun di atasnya tidak kunjung rampung! [+++]
posted by The Balebengong 10:58 AM   1 comments
 
1 Comments:
  • At August 21, 2016 at 7:04 PM, Anonymous Anonymous said…

    sesungguhnya aku sangat gembira untuk hidup saya; Nama saya Vargas cynthia maye, saya tidak pernah terfikir bahawa saya akan hidup di bumi sebelum tahun tamat. Saya telah menghidap penyakit berbahaya (HIV) untuk 5 tahun yang lalu sekarang; Saya telah membelanjakan wang yang banyak untuk pergi dari satu tempat yang lain, dari gereja-gereja untuk gereja-gereja, hospital telah kediaman saya setiap hari. cek berterusan sehingga menjadi hobi saya tidak sehingga Bulan lepas, saya telah mencari melalui internet, saya melihat satu bukti bagaimana DR. Ben membantu seseorang dalam menyembuhkan penyakit HIV beliau, cepat saya disalin e-mel beliau yang (drbenharbalhome@gmail.com) .Saya bercakap dengan dia, dia meminta saya untuk melakukan beberapa perkara tertentu yang saya lakukan, dia memberitahu saya bahawa dia akan menyediakan herba kepada saya, yang dia lakukan, maka dia meminta saya pergi untuk pemeriksaan perubatan selepas beberapa hari selepas menggunakan penawar herba, saya bebas daripada penyakit ini boleh membawa maut, dia hanya meminta saya untuk hantar kesaksian melalui seluruh dunia, dengan setia am melakukannya sekarang, saudara-saudara sila, dia hebat, saya berhutang dalam hidup saya. jika anda menghadapi masalah yang sama hanya e-mel dia di (drbenharbalhome@gmail.com) atau hanya WhatsApp dia di: + 2348144631509.He juga boleh menyembuhkan penyakit seperti Kanser, Diabeties, Herpes. Lain-lain Anda boleh menghubungi saya di email: vargascynthiamaye1995@gmail.com

     
Post a Comment
<< HOME

myprofile
Name: The Balebengong
Home: Denpasar, Bali, Indonesia
About Me: Tiap kabar bisa diceritakan di balebengong. Tidak harus kabar penting, kabar paling pribadi pun bisa. Sebab di balebengong, tiap orang bisa membuat cerita. Tidak hanya membacanya. Untuk berbagi kabar silakan kirim ke antonemus@yahoo.com atau slokainstitute@yahoo.com. Jika ada kabar penting bisa juga SMS ke 0817348794 atau telepon ke 0361-7989495
See my complete profile


previouspost
Pindah ke www.balebengong.net
Melihat Bali di Bajra Sandhi
Memerdekakan Perut di Renon
BEDO BALI DESIGN WORKSHOP
Suci (Plaza)
Es Campur Bikin Kesandung
Merayakan Galungan dengan Jotan
Di Mana Branding Bali Berada?
Pecandu Tuntut Vonis Rehabilitasi
Memilih Tempat Makan di Denpasar


myarchives
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
September 2007


mylinks
TemplatePanic
Blogger


bloginfo
This blog is powered by Blogger and optimized for Firefox.
Blog designed by TemplatePanic.